BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KETENAGAKERJAAN (BPJS-TK)

Jamsostek dan 3 Perusahaan Melebur ke BPJS Tahun Depan
Jakarta, Rabu 12 September 2012, Metrotvnews.com –

PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dan tiga perusahaan jaminan kesehatan akan bergabung dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) tahun depan. Saat ini sekitar 80 persen aset Jamsostek sudah dialihkan ke dalam BPJS. Dengan begitu, PT Jamsostek berubah badan hukum dari persero menjadi badan hukum publik.

Perubahan badan hukum ini dilakukan agar sesuai dengan peraturan hukum BPJS. Undang-Undang BPJS yang disahkan DPR pada Oktober 2011 lalu, mensyaratkan setiap perusahaan yang akan bergabung ke BPJS harus berstatus badan hukum publik, yang bersifat nirlaba.

PT Jamsostek telah menyelesaikan lebih dari 80 persen pengalihan aset untuk bergabung dalam BPJS. Penggabungan empat perusahaan jaminan sosial kesehatan itu rencananya selesai dilakukan pada 1 Januari 2014.

((DSY))

BENTUK BADAN HUKUM BPJS SEBAGAI MASUKAN BAGI KOMISI IX DP

Oleh

Agung Laksono

Menteri Kordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat

Secara konstitusional, setiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak dan jaminan sosial untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Jaminan sosial adalah pilar dasar untuk kesejahteraan rakyat. Kesejahterakan rakyat adalah suatu kondisi tercapainya keamanan sosial-ekonomi yang berdasarkan asas-asas kemanusiaan, manfaat dan keadilan untuk mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state). Untuk tercapainya keamanan sosial-ekonomi diperlukan jaminan sosial, yaitu sistem proteksi dasar bagi seluruh warga-negara terhadap peristiwa-peristiwa sosial-ekonomi yang dapat menimbulkan kemungkinan hilangnya pekerjaan dan atau hilangnya penghasilan. Untuk implementasi jaminan sosial secara efektif diperlukan sistem jaminan sosial nasional (SJSN), yaitu suatu tata-kelola penyelenggaraan program jaminan sosial secara wajib yang berdasarkan UU No 40 Tahun 2004 dengan mekanisme pemusatan risiko (pooling of risk) untuk keperluan redistribusi sumber-sumber yang diperlukan ke seluruh wilayah Indonesia. Negara dan jaminan sosial adalah komponen yang menyatu dengan sistem perlindungan sosial. Komponen-komponen negara yang meliputi rakyat, pemerintah, parlemen dan yudikatif pada prinsipnya memerlukan sistem jaminan sosial untuk mencapai keamanan sosial-ekonomi, yaitu suatu kondisi terpenuhinya kebutuhan pendidikan, kesempatan kerja dan prasarana untuk berusaha mandiri guna menunjang penyelenggaraan SJSN secara efektif.

SJSN adalah program sosial seumur hidup yang membentuk sistem proteksi sosial terdiri dari sub-sub sistem pendekatan dalam penyelenggaraan jaminan sosial dan upaya penciptaan lapangan pekerjaan oleh pemerintah serta pemberdayaan komunitas marjinal untuk menjadikan komunitas mandiri yang sejahtera. Pendekatan dalam penyelenggaraan program jaminan sosial meliputi asuransi sosial dan bantuan sosial atau kombinasi keduanya seperti SJSN yang berdasarkan UU No 40 Tahun 2004. Asuransi sosial adalah program perlindungan dasar yang bersifat wajib khususnya bagi komunitas yang bekerja atau warga negara yang memiliki penghasilan baik yang bekerja di sektor formal maupun bekerja di sektor informal. Model penyelenggaraan asuransi sosial adalah beberapa BPJS misalnya BPJS per program dan atau BPJS per kepesertaan. Sebagai contoh PT Jamsostek sebagai BPJS untuk kepesertaan sektor swasta sedang Taspen, Askes dan Asabri sebagai BPJS-BPJS untuk kepesertaan sektor publik yaitu PNS dan anggota TNI-Polri. PT Jamsostek sebagai BPJS untuk kepesertaan sektor swasta memiliki jaringan kantor cabang sebagai unit pelayanan kepada peserta yang tersebar di seluruh Indonesia. Untuk itu, pemerintah daerah tidak perlu membentuk BPJS baru kecuali BPJS untuk mengelola program Jamkesda yang dibiayai dari APBD masing masing, karena jaringan kantor-kantor cabang yang tersebar di seluruh Indonesia berfungsi sebagai BPJS daerah seperti status Polda sebagai Institusi Polri yang ada di daerah daerah.

SJSN meliputi jaminan kesehatan, jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua dan jaminan pensiun yang dibiayai dari iuran pemberi-kerja dan penerima-kerja. Pemerintah memberikan bantuan iuran bagi penduduk miskin dan orang tidak mampu khusus untuk jaminan kesehatan. Jamkesmas sebagai komponen bantuan sosial diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan. Jamkesmas dengan sendiri akan menjadi bagian dari Jaminan Kesehatan SJSN setelah berlakunya UU BPJS.  UU BPJS  diperlukan sebagai tindak-lanjut UU SJSN untuk perluasan kepesertaan universal yang mencakup kepesertaan seluruh penduduk. Untuk memenuhi prinsip kepesertaan universal diperlukan mekanisme pemusatan risiko oleh beberapa BPJS untuk redistribusi ke daerah daerah sedang BPJS Daerah diarahkan untuk melaksanakan Jamkesda sebagai program suplemen terhadap program Jaminan Kesehatan dalam kontek UU SJSN.

Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa SJSN yang berdasarkan pada UU No 40 Tahun 2004 adalah program negara untuk seumur hidup sehingga harus diselenggarakan oleh badan hukum publik yang memiliki kekuatan hukum tetap. Status bentuk badan hukum BPJS sekarang yang masih terikat dengan BUMN Persero tidak memiliki kekuatan hukum tetap, karena BUMN Persero sebagai bentuk badan hukum privat yang tidak pada tempanya menyelenggarakan sistem jaminan sosial. Usulan BUMN Perum sebagai BPJS juga masih perlu diuji relevansinya karena BUMN Perum diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945 untuk mengelola cabang cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak (lihat Tabel 1). Jelas bahwa BUMN Perum tidak diamanatkan oleh Pasal 28-H dan Pasal 34 UUD 1945. Jika BUMN Perum menyelenggarakan SJSN, maka bertentangan dengan bidang konsentrasi dan peruntukannya yang berbeda dengan baik Pasal 33 UUD 1945 maupun Pasal 28-H dan Pasal 34 UUD 1945.

TABEL 1. PERBEDAAN ANTARA PASAL-PASAL 28-H, 33 DAN 34 UUD 1945

PASAL 33 UUD 1945

PSL 28-H & 34 UUD ‘45

1. Peruntukan 

 

 

2. Kosentrasi

 

 

3. Pengelola dan atau

penyelenggara

 

4. Kedudukan

pemerintah

 

 

5. Dasar hukum untuk

implementasi

Cabang2 produksi yang mengusai hajat hidup orang banyak dikuasai negara melalui BUMN;Pengelolaan kekayaan negara;

 

BUMN Perum bukan BUMN Persero;

 

Regulator dan inisiator modal bagi pembentukan BUMN Perum;

 

UU No 19 Tahun 2009 Tentang BUMN.

Setiap warga negara baik miskin maupun kaya berhak atas jaminan sosial sebagai hak asasi manusia;Penyelenggaraan sistem jaminan sosial;

 

BPJS sebagai Badan Hukum Nirlaba;

 

Regulator, fasilitator,  penanggung-jawab dan sponsor;

 

UU No 40 Tahun 2004 Tentang SJSN

Sumber: Purwoko (2010); UUD 1945, UU 19/2003 dan UU 40/2004

Hambatan utama dalam implementasi UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN adalah masalah tindak-lanjut UU tentang BPJS yang belum terwujud sejak tanggal 19 Oktober 2004, karena belum adanya kesepakatan di kalangan Pemerintah sendiri untuk perubahan bentuk badan hukum privat ke bentuk badan hukum publik. Implementasi UU SJSN perlu ditindak-lanjuti dengan UU tentang BPJS. Persoalan tersebut akan semakin pelik, karena Kementerian Negara BUMN masih menghendaki eksistensi BUMN Persero atau BUMN Perum sebagai BPJS dengan menerapkan prinsip-prinsip UU SJSN. Perubahan dari BUMN Persero menjadi BUMN Perum masih berdasarkan Peraturan Pemerintah, padahal Pasal 5 (1) UU SJSN mengamanatkan bahwa BPJS dibentuk dengan UU. Karena dalam waktu dekat tidak dimungkinkan untuk amendemen UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Amendemen UU BUMN tersebut juga tidak memiliki kekuatan hukum tetap, karena bertentangan dengan Pasal 5 Ayat 1 bahwa BPJS dibentuk dengan UU, yaitu UU tentang BPJS kecuali menyusun UU Tentang Perum Jamsostek sebagai BPJS.

UU SJSN mengatur kepesertaan wajib secara nasional, program jaminan sosial, penerima bantuan iuran dan menetapkan prinsip BPJS serta DJSN agar memenuhi asas keadilan dan prinsip-prinsip UU SJSN antara lain: kepesertaan wajib dan prinsip jaminan sosial yang berkelanjutan. Sebagaimana diketahui bersama, bahwa tujuan penyelenggaraan SJSN adalah untuk penyelenggaraan jaminan sosial yang bersifat inklusif. Hal itu akan terwujud apabila bentuk badan hukum BPJS tidak lagi berbentuk BUMN Persero. Karena keterbatasan BUMN Persero sebagai badan usaha yang tidak berbeda dengan badan usaha privat, maka dengan sendirinya Pemerintah sebagai pemegang saham BUMN Persero juga memiliki tanggung-jawab yang terbatas dalam penyelenggaraan SJSN padahal SJSN merupakan kewajibannya dan tanggung-jawabnya sebagaimana diamanatkan dalam Pasal-pasal 28-H dan 34 UUD 1945. Keterbatasan Pemerintah dalam menyelenggarakan sistem jaminan sosial, karena keterikatannya dengan UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN adalah pelanggaran terhadap Pasal 5 (1) UU SJSN. Usulan BUMN Perum sebagai BPJS sesungguhnya kurang tepat, karena Perum diamanatkan UUD 1945 untuk mengelola usaha usaha yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak seperti perlistrikan, perkereta-apian, bahan bakar minyak dan pertambangan. Penyelenggaraan sistem jaminan sosial tidak tunduk dengan Pasal 33 UUD 1945 melainkan pada Pasal 28-H dan Pasal 34 UUD 1945. Jaminan sosial adalah program negara untuk perlindungan dasar bagi seluruh warga negara guna mencegah kemiskinan dalam jangka pendek dan reduksi kemiskinan dalam jangka panjang. Dengan sendirinya, BPJS tunduk pada Pasal 5 Ayat 1 UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN sebagai amanat dari Pasal-pasal 28-H dan 34 UUD 1945.

Kedudukan Pemerintah terhadap ke-empat BUMN Persero tersebut adalah sebagai pemegang saham tunggal yang berarti sebagai investor atas BUMN penyelenggara program jaminan sosial. Pemerintah sebagai pemegang saham dapat memutuskan melalui RUPS untuk tidak menerima deviden seperti pemegang saham pada persero swasta untuk menambah ekuitas walaupun tidak berlaku bagi PT Jamsostek. Sekalipun ke-empat BUMN dibebaskan dari kewajiban deviden kepada Negara sebagaimana diputuskan dalam RUPS. Akan tetapi keputusan RUPS tersebut tidak memiliki kekuatan hukum tetap, karena keputusan itu hanya berlaku sesaat yang berarti berisiko secara hukum baik bagi Pemerintah itu sendiri yang memutuskan maupun BPJS yang terikat dengan UU BUMN. Operasionalisasi BUMN Persero berkaitan erat dengan usaha dagang. Padahal jaminan sosial bukan barang dagangan (non-traded goods) melainkan sebagai hak konstitusional rakyat, karena jaminan sosial sebagai program perlindungan dasar seumur hidup yang dijamin dengan UU. Karena itu diperlukan pembentukan badan hukum BPJS yang dijamin dengan UU. BPJS sebagai BADAN USAHA sudah barang tentu tidak dapat memenuhi asas keadilan bagi kepentingan peserta dan juga tidak dapat mengadopsi prinsip-prinsip UU SJSN secara maksimal, karena keterbatasannya sebagai BADAN USAHA. Artinya tanggung-jawab Pemerintah dalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial menjadi terbatas, karena keterbatasan ekuitas yang berarti keterbatasan tanggung-jawab. Terbatasnya tanggung-jawab adalah paradoks dengan tanggung-jawab pemerintah dalam penyelenggeraan jaminan sosial Akibatnya, penyelenggaraan sistem jaminan sosial menjadi eksklusif.

Demikian halnya dengan keinginan pemerintah daerah untuk menyelenggarakan SJSN perlu diluruskan kembali bahwa dalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial yang berbasis kontribusi dari peserta mensyaratkan penyelenggaraan dari, oleh dan untuk peserta yang membentuk wadah yang didasarkan pada UU. Wadah yang dimaksud dikenal dengan istilah wali amanah (board of trustee) sebagai bentuk badan hukum BPJS dimana kedudukan pemerintah sebagai fasilitator dan regulator terhadap penyelenggaraan jaminan sosial oleh beberapa BPJS. Dalam hal ini, penyelenggaraan jaminan sosial berarti mengawasi penyelenggaraan jaminan sosial oleh beberapa BPJS, melakukan penindakan hukum dan membina hubungan antara cabang cabang BPJS yang tersebar di daerah daerah dan badan-badan pelaksana jaminan kesehatan atau bapel (health provider) yang tersebar di daerah daerah sebagai mitra kerja BPJS dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan. BPJS hanya bertindak selaku administratur dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan bagi peserta di seluruh Indonesia. Mekanisme pemusatan risiko dalam pengelolaan SJSN pada umumnya dan jaminan kesehatan pada khususnya adalah bahwa prosesi koleksi iuran dilakukan secara terpusat melalui cabang cabang BPJS kemudian dikembalikan kepada badan pelaksana jaminan kesehatan (Bapel) sebagai mitra BPJS yang berbasis kontrak. Koleksi iuran sebesar 100% oleh BPJS melalui kantor kantor cabang yang ada di daerah daerah akan dikembalikan sebesar 90% ke daerah daerah sedangkan sisanya 10% akan digunakan untuk membiayai hal hal yang tak terduga. Perlu diketahui, bahwa koleksi iuran terhadap program wajib harus berdasarkan UU sehingga kewenangan dalam koleksi iuran SJSN adalah ada pada BPJS.

Alasan perlunya penetapan BPJS dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan dengan pendekatan asuransi sosial adalah untuk memenuhi prinsip gotong royong. Karena itu diperlukan kartu identitas tunggal untuk peserta yang berlaku di seluruh Indonesia atas pertimbangan mobilitas penduduk, frekuensi perputaran pekerja sektor swasta dan untuk keperluan pelayanan kesehatan lintas batas wilayah seperti rujukan dari daerah lain agar memudahkan dalam akses pelayanan kesehatan. Mobilitas penduduk berarti adanya mobililitas keluarga dari daerah asal ke daerah tujuan manakala memerlukan pelayanan kesehatan di daerah tujuan, maka akan dengan mudah diakses. Apabila penyelenggaraan jaminan sosial diselenggarakan secara lokal, maka akan menyulitkan dalam pelaksanaan rujukan dan bahkan menjadi kacau karena tidak lagi berlaku rujukan kemudian terjadi penolakan dalam pelayanan kesehatan karena perbedaan kepesertaan wilayah. Karena itu, penyelenggaraan SJSN dikelola secara terpusat dengan tujuan untuk memudahkan akses pelayanan kesehatan sehingga siapapun yang berobat ke daerah manapun akan dengan mudah diakses.

Karena SJSN dirancang sebagai program jaminan sosial seumur hidup bagi seluruh rakyat, maka diperlukan UU tentang BPJS yang permanen untuk implementasi UU SJSN. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa pembentukan BPJS tidak hanya mengadopsi prinsip UU SJSN tetapi juga harus mampu melaksanakan Pasal 2 UU SJSN tentang asas kemanusiaan, asas manfaat dan asas keadilan. Selai itu, BPJS juga harus mampu menerapkan Pasal 4 tentang prinsip prinsip SJSN yang antara lain: gotong royong, nirlaba, portabilitas, kepesertaan wajib dan dana amanah. Adapun asas dan prinsip prinsip tersebut sebagaimana dimaksud dalam UU SJSN bersifat mengikat bagi BPJS. Berdasarkan asas dan prinsip UU SJSN, maka BUMN Perum sebagaimana akan diusulkan oleh Kementerian Negara BUMN sebagai BPJS masih perlu dikaji lebih lanjut, karena keterikatannya dengan UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang ditujukan untuk mngelola cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945. Pengelolaan cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak sudah barang tentu tidak sama dengan penyelenggaraan SJSN yang diamanatkan dalam Pasal 28-H dan Pasal 34 UUD 1945. Sebagai penutup dari Pemerintah untuk masukan bagi Komisi IX DPR mengenai bentuk badan hukum BPJS, berikut disampaikan penjelasan tentang jenis badan hukum publik dan bentuknya (lihat Tabel 2):

1.  Badan hukum (BH) terdiri dari badan hukum publik dan badan hukum privat. Bentuk BH publik meliputi badan hukum publik yang otonom, badan hukum publik yang semi otonom dan badan hukum publik yang agak khusus yaitu wali amanat;

2.  Bentuk BH publik yang otonom adalah institusi yang dibentuk dengan UU dan bahkan UUD 1945 yang memiliki hak dan kewajiban konstitusional serta memiliki otoritas pengawasan serta regulasi secara penuh guna memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap potensi kerugian sosial ekonomi sebagai dampak dari kebijakan publik sebagai contoh Kementerian, Bank Indonesia, Kejaksaan Agung dan BKPM;

3.  Bentuk BH publik yang semi otonom adalah institusi independen yang dibentuk dengan UU yang mempunyai hak dan kewajiban konstitusional untuk menyelenggarakan program program negara yang berdasarkan UU misalnya pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh PTN sebagai badan hukum pendidikan (BHP), pelayanan umum oleh instansi pemerintah dan pemberdayaan komunitas. BPJS di kebanyakan negara merupakan bentuk badan hukum semi otonom;

4.  Bentuk BH wali amanat adalah badan independen yang dipercaya oleh UU Jaminan Sosial dan difasilitasi oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan sistem jaminan sosial yang berbasis kontribusi dari peserta guna mengelola dana amanah secara obyektif dengan pengawasan oleh peserta itu sendiri melalui wadah dewan jaminan sosial yang  mewakili inspirasi Tripartit dalam arti tidak selalu unsur Tripartit. Berdasarkan atas Pasal 4 perihal prinsip-prinsip UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN, maka bentuk badan hukum BPJS merupakan badan hukum wali amanat atau badan hukum nirlaba yang memiliki kekuatan hukum tetap. Adapun BUMN Perum / Persero masuk dalam katagori badan hukum privat

TABEL 2. JENIS BADAN HUKUM DAN BENTUKNYA

Badan Hukum (BH)

Bentuk BH

Definisi / Pengertian adalah

Tujuan dan orientasi

Contoh2

1. BH Publik BH publik yg otonom 

 

BH publik

yg semi

otonomi

 

 

 

BH wali

amanat

institusi yang memiliki hak & kewajiban konstitusi dan memiliki otoritas regulasi / pengawasan secara penuh,institusi independen yang mempunyai hak dan kewajiban konstitusional untuk menyelenggarakan program-program negara

 

badan independen yang dipercaya UU untuk menyelenggarakan sistem jaminan sosial dan kelola dana amanah milik peserta

Perlindungan  masyarakat terhadap kerugian ekonomi dan gangguan  kamtibmas,Pendidikan tinggi,

pelayanan umum dan pemberdayaan masyarakat,

 

 

Perlindungan sosial terhadap risiko-risiko sosial ekonomi,

Kementerian2BI, Kejagung,Polri dan

BKPM

 

PTN, BPS

BKKBN dan sejenisnya

 

 

 

DJSN

BPJS-BPJS

2. BH Privat Perum danpersero Badan usaha yang dibentuk dengan modal awal oleh pemerintah atau kumpulan modal milik pemerintah dan atau orang per orang Pelayanan publik dan komersial BUMN Perum dan Persero
Koperasi kumpulan anggota yang dibentuk untuk usaha bersama yang dibiayai dari iuran anggota Memperoleh sisa hasi usaha untuk kesejahteraan anggota Koperasi2 konsumsi dan simpan pinjam
Yayasan kumpulan orang per orang yang dibentuk untuk misi sosial dan kemanusiaan Fungsi kontrol sosial LSM
Perorangan Seseorang yang menawarkan jasa karena kompetensinya kepada masyarakat Bisnis dan hal lain Dokter praktek dan pengacara

Sumber: Purwoko (2010)

Referensi terbatas

  1. UUD 1945; UU No 19/2003 tentang BUMN; UU No 40/2004 tentang SJSN;
  2. Purwoko, Bambang, Makalah tentang badan hukum BPJS tahun 2010.