[accordion open=””]
[accordion-item title=”Tax Related FAQ”]
#88
Pertanyaan :
Siapa yang menghitung, menyetor dan melaporkan PPh Pasal 21 bagi Karyawan yang bekerja di Kantor Perwakilan Negara Asing?
Jawaban
Merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 2 Ayat 2 huruf a yaitu “Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 huruf a atau huruf b adalah Kantor Perwakilan Negara Asing”.
Karyawan yang bekerja di Kantor Perwakilan Negara Asing dikategorikan menjadi dua (2) yaitu Karyawan yang merupakan Subjek Pajak dan Karyawan yang bukan merupakan Subjek Pajak. Hal ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 3 Ayat 1 huruf b yaitu “Yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik”.
Dengan demikian pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing tidak perlu menghitung, menyetorkan dan melaporkan Pajak atas Penghasilan yang diterimanya sepanjang tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya.
Adapun Warga Negara Indonesia yang bekerja di Kantor Perwakilan Negara Asing merupakan Subjek Pajak dan yang menghitung, menyetor dan melaporkan PPh Pasal 21 adalah Karyawan itu sendiri. Hal ini merujuk pada Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-207/PJ/2001 Pasal 2 Ayat 2 yaitu “Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai kewajiban membayar angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dalam tahun pajak berjalan karena menerima/memperoleh penghasilan teratur tidak terkena pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan atau Pajak Penghasilan Final, sekalipun bukan merupakan penghasilan dari usaha dan atau pekerjaan bebas, maka atas kewajiban pembayaran angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 tersebut tetap harus dilaporkan pembayarannya dengan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 25”.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#87
Pertanyaan :
Bagaimana Perhitungan dan Pelaporan PPh Pasal 21 atas Pengalihan Pembayaran Pesangon kepada Pengelola Dana Pensiun di Perusahaan?
Jawaban
Merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2010 Pasal 1 Ayat 4 yaitu “Uang Pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak”.
Adapun pengalihan pembayaran Pesangon kepada Pengelola Dana Pensiun bukan merupakan Objek Pajak karena Perusahaan tidak memberikan Pesangon kepada Karyawan melainkan dialihkan kepada Pengelola Dana Pensiun. Hal ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 4 Ayat 1 yaitu “Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun”.
Dengan demikian pengalihan pembayaran Pesangon kepada Pengelola Dana Pensiun tidak dihitung dan dilaporkan PPh Pasal 21 Finalnya oleh Perusahaan.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#86
Pertanyaan :
Apakah dasar hukum atas pengalihan pembayaran Pesangon kepada Pengelola Dana Pensiun?
Jawaban
Merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2010 Pasal 1 Ayat 4 yaitu “Uang Pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak”.
Pengalihan pembayaran Pesangon kepada Pengelola Dana Pensiun didasarkan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 167 Ayat 1 yaitu “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)”.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#85
Pertanyaan :
Bagaimanakah penghitungan Pesangon untuk Karyawan Pensiun menurut UU No 13 Tahun 2003?
Jawaban
Penghitungan Pesangon untuk Karyawan Pensiun dapat merujuk pada UU No 13 Tahun 2003 Pasal 167 Ayat 1, 2 ,3 dan 5 yaitu :
“1. Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
2. Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam program pensiun se-bagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata lebih kecil daripada jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh pengusaha.
3. Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun yang iurannya/premi-nya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha.
5. Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)”.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#84
Pertanyaan :
Bagaimana cara membuat NPWP bagi Wajib Pajak Orang Pribadi secara online?
Jawaban
Merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017, NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Wajib Pajak diwajibkan membuat NPWP ketika telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. Yang dimaksud syarat subjektif adalah ketika Wajib Pajak dikategorikan Subjek Pajak Dalam Negeri. Sedangkan syarat objektif adalah ketika Wajib Pajak memperoleh penghasilan yang dikategorikan sebagai Objek Pajak.
Adapun Wajib Pajak dapat membuat NPWP secara online. Berikut adalah langkah-langkah Wajib Pajak Orang Pribadi mendaftar NPWP secara online:
1. Buat akun baru di ereg pajak (https://ereg.pajak.go.id) dengan mengIsi kolom-kolomnya dan mengikuti petunjuknya serta memeriksa Email dan melakukan klik tautan aktivasi yang dikirimkan.
2. Pilih pada field Kantor Pusat / Cabang dengan kriteria”Pusat”, jika laki-laki atau perempuan lajang. Sedangkan jika perempuan yang sudah menikah dan ingin mencabangkan NPWP pada suami Anda, maka pilih cabang.
3. Melakukan unggah dokumen-dokumen pendukung dengan kriteria:
a. Wajib Pajak Orang Pribadi yang Tidak Menjalankan Usaha atau Pekerjaan Bebas:
– Kartu identitas (KTP) bagi WNI
– Paspor dan KITAS/KITAP bagi WNA
b. Wajib Pajak Orang Pribadi yang Menjalankan Usaha atau Pekerjaan Bebas atau Pengusaha Tertentu:
– Kartu identitas (KTP) bagi WNI
– Paspor dan KITAS/KITAP bagi WNA
– Dokumen izin kegiatan usaha yang diterbitkan oleh instansi berwenang atau surat keterangan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari pejabat pemerintah daerah sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala Desa.
c. Wajib Pajak Orang Pribadi dengan Status Wanita Kawin yang Dikenai Pajak Terpisah Dari Suaminya:
– Kartu identitas (KTP) bagi WNI
– Paspor dan KITAS/KITAP bagi WNA
– Fotokopi kartu NPWP suami
– Fotokopi kartu keluarga
– Fotokopi surat perjanjian pemisahan penghasilan dan harta atau surat pernyataan menghendaki melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suami.
4. Mengirimkan berkas elektronik dengan langkah sebagi berikut:
a. klik tombol “Token” (kode rahasia) yang ada pada dashboard. Kemudian cek Email Anda. Bila setelah 1 menit, token belum juga dikirim, maka klik tombol “Token” lagi.
b. Copy-paste token di Email tersebut dan masuk kembali ke menu dashboard
c. Klik “Kirim” dan paste kode token tersebut di kolom “Token”
d. Klik “Kirim Permohonan”.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#83
Pertanyaan :
Apakah pembuatan e-FIN hanya dapat dilakukan di KPP tempat NPWP terdaftar?
Jawaban
Merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-06/PJ/2018 Pasal 4 Ayat 3 yaitu “Bagi Wajib Pajak orang pribadi, syarat dan ketentuan pengajuan permohonan aktivasi EFIN adalah sebagai berikut:
a. permohonan aktivasi EFIN dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri tidak diperkenankan untuk dikuasakan kepada pihak lain;
b. Wajib Pajak mengisi, menandatangani, dan menyampaikan Formulir Permohonan Aktivasi EFIN dengan mendatangi secara langsung Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdekat, Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) terdekat atau Tempat Tertentu di Luar Kantor sesuai dengan kewenangannya;
c. Wajib Pajak menunjukan asli dan menyerahkan fotokopi dokumen berupa:
1) identitas diri berupa:
a) Kartu Tanda Penduduk (KTP) dalam hal Wajib Pajak merupakan warga Negara Indonesia; atau
b) Paspor dan Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP) dalam hal Wajib Pajak merupakan warga negara asing; dan
2) kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Surat Keterangan Terdaftar (SKT);
d. menyampaikan alamat email aktif yang digunakan sebagai sarana komunikasi dalam rangka pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan”.
Dengan demikian pembuatan EFIN tidak hanya dapat dilakukan di KPP tempat NPWP terdaftar namun juga dapat dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdekat dengan menyerahkan dokumen yang telah disebutkan di atas.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#82
Pertanyaan :
Bagaimana cara melakukan pemindahbukuan ketika terdapat lebih bayar PPh Pasal 21?
Jawaban
Ketika terjadi kesalahan pembayaran pajak dalam hal ini kelebihan pembayaran PPh Pasal 21 dapat merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 Pasal 16 Ayat 1 yakni “Dalam hal terjadi kesalahan pembayaran atau penyetoran pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Pemindahbukuan kepada Direktur Jenderal Pajak”.
Kesalahan pembayaran atau penyetoran pajak dijelaskan secara rinci pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 Pasal 16 Ayat 2 yakni “Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Pemindahbukuan karena adanya kesalahan dalam pengisian formulir SSP, SSPCP, baik menyangkut Wajib Pajak sendiri maupun Wajib Pajak lain;
b. Pemindahbukuan karena adanya kesalahan dalam pengisian data pembayaran pajak yang dilakukan melalui sistem pembayaran pajak secara elektronik sebagaimana tertera dalam BPN”.
Adapun dokumen yang dibutuhkan untuk melakukan pengajuan pemindahbukuan terdapat pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 Pasal 17 Ayat 8 yakni “Surat permohonan Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan:
a. asli SSP (lembar ke-1), asli SSPCP (lembar ke-1), asli Bukti Pbk (lembar ke-1), dokumen BPN, atau asli bukti pembayaran Pajak Penghasilan Dalam Mata Uang Dollar Amerika Serikat yang dimohonkan untuk dipindahbukukan;
b. asli surat pernyataan kesalahan perekaman dari pimpinan Bank Persepsi/Pos Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Bank Persepsi Mata Uang Asing tempat pembayaran dalam hal permohonan Pemindahbukuan diajukan karena kesalahan perekaman oleh petugas Bank Persepsi/Pos Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Bank Persepsi Mata Uang Asing;
c. asli pemberitahuan pabean impor, asli dokumen cukai, atau asli surat tagihan/surat penetapan dalam hal permohonan Pemindahbukuan diajukan atas SSPCP;
d. fotokopi Kartu Tanda Penduduk penyetor atau pihak penerima Pemindahbukuan, dalam hal permohonan Pemindahbukuan yang diajukan atas SSP, SSPCP, BPN, atau Bukti Pbk yang tidak mencantumkan NPWP atau mencantumkan angka 0 (nol) pada 9 (sembilan) digit pertama NPWP;
e. fotokopi dokumen identitas penyetor atau dokumen identitas wakil badan dalam hal penyetor melakukan kesalahan pengisian NPWP; dan
f. surat pernyataan dari Wajib Pajak yang nama dan NPWP-nya tercantum dalam SSP, yang menyatakan bahwa SSP tersebut sebenarnya bukan pembayaran pajak untuk kepentingannya sendiri dan tidak keberatan dipindahbukukan dalam hal nama dan NPWP pemegang asli SSP (yang mengajukan permohonan Pemindahbukuan) tidak sama dengan nama dan NPWP yang tercantum dalam SSP.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#81
Pertanyaan :
Bagaimana Pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21 dan PPh Orang Pribadi ketika pasangan suami istri berpisah di pertengahan tahun dan istri membuat NPWP yang baru?
Jawaban
Merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 11 Ayat 5 yakni “Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal Tahun Kalender”. Dengan demikian ketika suami istri memiliki NPWP yang sama namun berpisah di pertengahan tahun pelaporan pajaknya tetap sama dengan tahun-tahun sebelumnya karena di tahun tersebut suami istri tersebut masih dianggap satu kesatuan.
Sehingga pelaporan pajaknya dengan mencantumkan penghasilan dan PPh Pasal 21 yang dipotong dari penghasilan istri dianggap PPh Final. Hal ini merujuk pada UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 8 Ayat 1 yakni “Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya”.
Namun dikarenakan istri membuat NPWP baru maka istri wajib melaporkan SPT Tahunan Orang Pribadi terpisah dari mantan suaminya. Hal ini merujuk pada UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 3 Ayat 1 yakni “Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak”
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#80
Pertanyaan :
Bagaimana perhitungan PPh Pasal 21 bagi WNI yang bekerja di luar negeri lebih dari 183 hari?
Jawaban
Merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-02/PJ/2009 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Pekerja Indonesia di Luar Negeri Pasal 1 s.d. 4 yaitu:
“1. Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan Pekerja Indonesia di Luar Negeri adalah orang pribadi Warga Negara Indonesia yang bekerja di luar negeri lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
2. Pekerja Indonesia di Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan Subjek Pajak Luar Negeri.
3. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pekerja Indonesia di Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 sehubungan dengan pekerjaannya di luar negeri dan telah dikenai pajak di luar negeri, tidak dikenai Pajak Penghasilan di Indonesia.
4. Dalam hal Pekerja Indonesia di Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia maka atas penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan sesuai ketentuan yang berlaku”.
Dan dengan memperhatikan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 19 Ayat 1 yakni “Tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dan bersifat final diterapkan atas penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak Luar Negeri dengan memperhatikan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku antara Republik Indonesia dengan negara domisili Subjek Pajak Luar Negeri tersebut”.
Dengan demikian WNI yang bekerja di luar negeri lebih dari 183 hari dan menerima penghasilan hanya dari luar negeri maka tidak dikenai Pajak Penghasilan di Indonesia. Sedangkan ketika WNI yang bekerja di luar negeri lebih dari 183 hari dan menerima penghasilan dari Indonesia maka dikenakan Tarif PPh Pasal 26 yakni 20% dikarenakan WNI tersebut dikategorikan Subjek Pajak Luar Negeri.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#79
Pertanyaan :
Apa manfaat NPWP bagi penerima penghasilan berstatus Karyawan; dan apa relevansinya bagi penerima penghasilan berstatus Bukan Karyawan?
Jawaban
Merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 20 Pasal 1 dan 3 yaitu:
“1. Bagi penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak Yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak
3. Pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 hanya berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final”.
Dengan demikian manfaat NPWP bagi penerima penghasilan berstatus Karyawan adalah tidak dikenakan tarif pemotongan PPh Pasal 21 lebih tinggi 20% atas penghasilan yang bersifat tidak final. Adapun relevansi ketika penerima penghasilan berstatus Bukan Karyawan secara umum mendapatkan manfaat yang sama dengan penerima penghasilan berstatus Karyawan. Namun secara khusus, ketika penghasilan yang diterima Bukan Karyawan bersifat berkesinambungan dan hanya diperoleh dari satu (1) Pemberi Kerja serta yang bersangkutan memiliki NPWP maka dalam proses penghitungan PPh Pasal 21 nilai penghasilannya dikurangi dengan PTKP sehingga PPh Pasal 21 yang dikenakan lebih kecil.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#78
Pertanyaan :
Bagaimana membuat EFIN bagi Wajib Pajak Orang Pribadi melalui Aplikasi Online?
Jawaban
Merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-06/PJ/2018 Pasal 4 Ayat 3 yaitu “Bagi Wajib Pajak orang pribadi, syarat dan ketentuan pengajuan permohonan aktivasi EFIN adalah sebagai berikut:
a. permohonan aktivasi EFIN dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri tidak diperkenankan untuk dikuasakan kepada pihak lain;
b. Wajib Pajak mengisi, menandatangani, dan menyampaikan Formulir Permohonan Aktivasi EFIN dengan mendatangi secara langsung Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdekat, Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) terdekat atau Tempat Tertentu di Luar Kantor sesuai dengan kewenangannya;
c. Wajib Pajak menunjukan asli dan menyerahkan fotokopi dokumen berupa:
1) identitas diri berupa:
a) Kartu Tanda Penduduk (KTP) dalam hal Wajib Pajak merupakan warga Negara Indonesia; atau
b) Paspor dan Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP) dalam hal Wajib Pajak merupakan warga negara asing; dan
2) kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Surat Keterangan Terdaftar (SKT);
d. menyampaikan alamat email aktif yang digunakan sebagai sarana komunikasi dalam rangka pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan”.
Dengan demikian pembuatan EFIN tidak dapat dilakukan melalui Aplikasi Online karena hanya dapat dilakukan dengan mendatangi langsung Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdekat dengan menyerahkan dokumen yang telah disebutkan di atas.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#77
Pertanyaan :
Apabila Kurs Valuta Asing yang digunakan dalam perhitungan PPh Pasal 21 tidak termasuk dalam Keputusan Menteri Keuangan, maka nilai kurs apakah yang digunakan?
Jawaban
Penghitungan PPh Pasal 21 terkait Mata Uang Asing diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 7 Ayat 1 “Dalam hal penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat 1 diterima atau diperoleh dalam Mata Uang Asing, penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 didasarkan pada Nilai Tukar (Kurs) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembayaran penghasilan atau pada saat dibebankan sebagai biaya”
Namun apabila Kurs Valuta Asing tidak termasuk Kurs Valuta Asing yang tercantum pada Keputusan Menteri Keuangan maka Kurs Valuta Asing tersebut dikonversi terlebih dahulu ke Kurs Dolar Amerika Serikat dan selanjutnya dikonversikan ke Kurs Kementrian Keuangan yang berlaku. Hal ini merujuk pada Keputusan Menteri Keuangan Nomor 9/MK.10/2019 bagian kedua yaitu “Dalam hal kurs valuta asing lainnya tidak tercantum dalam diktum PERTAMA, maka nilai kurs yang digunakan sebagai dasar pelunasan adalah kurs spot harian valuta asing yang bersangkutan di pasar internasional terhadap dolar Amerika Serikat yang berlaku pada penutupan hari kerja sebelumnya dan dikalikan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan ini”.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#76
Pertanyaan :
Bagaimana pelaporan SPT Tahunan Orang Pribadi bagi seorang istri yang penghasilannya digabung dengan suami namun NPWP masih aktif?
Jawaban
Merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2013 Pasal 2 Ayat 5 yaitu “Wanita kawin yang tidak menghendaki untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari suaminya dan anak yang belum dewasa, harus melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak suami atau kepala keluarga”
Namun ketika NPWP Istri masih aktif maka istri masih wajib melaporkan SPT Tahunan Orang Pribadi secara terpisah dari suaminya. Hal ini merujuk pada UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 3 Ayat 1 yakni “Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak”
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#75
Pertanyaan :
Bagiamana cara penutupan NPWP Istri jika suami seorang Pegawai Negeri Sipil?
Jawaban
Merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2013 Pasal 2 Ayat 5 yaitu “Wanita kawin yang tidak menghendaki untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari suaminya dan anak yang belum dewasa, harus melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak suami atau kepala keluarga”
Dengan demikian ketika wanita yang telah memiliki NPWP lalu menikah dan tidak menghendaki untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari suaminya maka wajib menggunakan NPWP suaminya dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan.
Adapun cara penutupan atau penghapusan NPWP istri dijelaskan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 Pasal 13 Ayat 1 huruf b dan Ayat 3 huruf d yaitu “1.b. Permohonan penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat 2 disampaikan pada KPP tempat Wajib Pajak terdaftar
3.d. Dokumen yang disyaratkan sebagai lampiran permohonan penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat 2 merupakan dokumen pendukung yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif, berupa fotokopi buku nikah atau dokumen sejenis dan surat pernyataan tidak membuat perjanjian pemisahan harta dan penghasilan atau surat pernyataan tidak ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari suami, dalam hal wanita kawin tidak melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya secara terpisah dari suaminya”.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#74
Pertanyaan :
Dapatkah membuat NPWP di KPP yang tidak sesuai Domisili di KTP?
Jawaban
Merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017, NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Wajib Pajak diwajibkan membuat NPWP ketika telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. Yang dimaksud syarat subjektif adalah ketika Wajib Pajak dikategorikan Subjek Pajak Dalam Negeri. Sedangkan syarat objektif adalah ketika Wajib Pajak memperoleh penghasilan yang dikategorikan sebagai Objek Pajak.
Adapun apakah pembuatan NPWP dapat dilakukan di KPP yang tidak sesuai dengan domisili pada KTP dapat merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 Pasal 2 Ayat 1 yaitu “Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif wajib mendaftarkan diri pada KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi :
a. tempat tinggal Wajib Pajak;
b. tempat kedudukan Wajib Pajak; atau
c. tempat kegiatan usaha Wajib Pajak”.
Dengan demikian NPWP hanya dapat dibuat pada KPP yang sesuai domisili di KTP. Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#73
Pertanyaan :
Bagaimana pencantuman Hibah pada saat Lapor Pajak Tahunan Orang Pribadi?
Jawaban
Hibah adalah pemberian dari satu (1) pihak kepada pihak lain yang diberikan secara cuma-cuma sehingga tidak memerlukan pembayaran atau kompensasi dalam bentuk apapun. Dalam Pajak Hibah dibedakan menjadi dua (2) yaitu Hibah yang merupakan Objek Pajak dan Hibah yang bukan merupakan Objek Pajak.
Hibah yang merupakan Objek Pajak dijelaskan pada Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2007 Pasal 4 Ayat 1 huruf d yaitu “Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihakyang bersangkutan”.
Sedangkan Hibah yang bukan merupakan Objek Pajak dijelaskan pada Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2007 Pasal 4 Ayat 3 huruf a yaitu “Yang dikecualikan dari Objek Pajak adalah harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan”.
Hibah yang merupakan Objek Pajak dicantumkan dalam Formulir Lapor Pajak Tahunan Orang Pribadi pada bagian A angka 1 yaitu Penghasilan Bruto Dalam Negeri sehubungan dengan Pekerjaan dan Penghasilan Neto Dalam Negeri Lainnya dan juga dicantumkan pada bagian C angka 11 yaitu Jumlah Keseluruhan Harta yang dimiliki pada Akhir Tahun Pajak.
Sedangkan Hibah yang bukan merupakan Objek Pajak dicantumkan dalam Formulir Lapor Pajak Tahunan Orang Pribadi pada bagian B angka 10 yaitu Penghasilan yang Dikecualikan dari Objek Pajak dan juga dicantumkan pada bagian C angka 11 yaitu Jumlah Keseluruhan Harta yang dimiliki pada Akhir Tahun Pajak.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#72
Pertanyaan :
Apa syarat Ekspatriat dapat menggunakan Tax Treaty dalam menghitung PPh Pasal 26 yang dipotong?
Jawaban
Tax Treaty atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-10/PJ/2017 adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
Syarat Ekspatriat dapat menggunakan Tax Treaty dalam menghitung PPh Pasal 26 yang dipotong dijelaskan pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-10/PJ/2017 Pasal 2 Ayat 1 dan 2 yaitu:
“1. Pemotong dan/atau Pemungut Pajak wajib melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang PPh atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN;
2. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1, Pemotong dan/atau Pemungut Pajak melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B dalam hal:
a. Terdapat perbedaan antara ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang PPh dan ketentuan yang diatur dalam P3B;
b. penerima penghasilan bukan Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia;
c. penerima penghasilan merupakan Orang Pribadi atau Badan yang merupakan Subjek Pajak Dalam Negeri dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B;
d. WPLN menyampaikan SKD WPLN yang telah memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan tertentu lainnya;
e. tidak terjadi penyalahgunaan P3B; dan
f. penerima penghasilan merupakan beneficial owner, dalam hal dipersyaratkan dalam P3B”.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#71
Pertanyaan :
Apakah anak yang telah bekerja dapat dijadikan tanggungan dalam penentuan besaran PTKP orang tuanya?
Jawaban
Merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 11 Ayat 1 huruf c yaitu “Besarnya PTKP per tahun adalah Rp4.500.000,- (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak tiga (3) orang untuk setiap keluarga”.
Penjelasan mengenai kutipan peraturan ini terdapat pada UU Nomor 36 Tahun 2008 bagian penjelasan yaitu “Yang dimaksud dengan anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak”. Dengan demikian anak yang telah bekerja tidak dapat dijadikan tanggungan dalam penentuan besaran PTKP orang tuanya.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#70
Pertanyaan :
Dalam kasus Karyawan Rehire di tahun yang sama, berapa Formulir 1721-A1 yang dibuat Perusahaan?
Jawaban
Karyawan Rehire adalah Karyawan yang berhenti bekerja dan mulai bekerja kembali pada Perusahaan yang sama. Dalam hal Karyawan Rehire di tahun yang sama, Perusahaan harus menerbitkan Formulir 1721-A1 dua (2) kali yakni saat Karyawan berhenti bekerja dan saat berakhirnya tahun pajak.
Hal ini merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 14 Ayat 7 yaitu “Dalam hal Pegawai Tetap berhenti bekerja sebelum Bulan Desember dan jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong dalam tahun kalender yang bersangkutan lebih besar dari PPh Pasal 21 yang terutang untuk satu (1) tahun pajak maka kelebihan PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dikembalikan kepada Pegawai Tetap yang bersangkutan bersamaan dengan pemberian bukti pemotongan PPh Pasal 21, paling lambat akhir bulan berikutnya setelah berhenti bekerja”
Rujukan lain terdapat pada Pasal 23 Ayat 1 yaitu “Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap atau penerima pensiun berkala paling lama satu (1) bulan setelah tahun kalender berakhir”.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#69
Pertanyaan :
Apakah dilakukan pembulatan terhadap nilai nominal PPh yang tercantum pada Bukti Potong PPh Pasal 21 Tidak Final?
Jawaban
Bukti Potong PPh Pasal 21 Tidak Final adalah bukti pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang bersifat tidak final seperti penghasilan yang diterima oleh Pegawai Tidak Tetap, Tenaga Kerja Lepas, Petugas Dinas Luar Asuransi, Tenaga Ahli dan lain sebagainya.
Adapun ketika nilai nominal PPh Pasal 21 yang tercantum pada Bukti Potong PPh Pasal 21 Tidak Final mempunyai nilai desimal maka nilai desimalnya tidak perlu dicantumkan pada Bukti Potong PPh Pasal 21 Tidak Final. Hal ini merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-14/PJ/2013 bagian Petunjuk Umum angka 7 yaitu “Dalam mengisi kolom-kolom yang berisi nilai rupiah harus tanpa nilai desimal. Contoh:
1. Dalam menuliskan sepuluh juta rupiah adalah 10.000.000 (bukan 10.000.000,00)
2. Dalam menuliskan seratus dua puluh lima rupiah lima puluh sen adalah 125 (bukan 125,50).”
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#68
Pertanyaan :
Bagaimana melakukan koreksi PPh Pasal 21 Orang Pribadi yang telah dilaporkan tetapi ternyata mengandung kesalahan?
Jawaban
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 8 Ayat 1 yaitu “Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan”
Ketika koreksi yang dilakukan membuat PPh Pasal 21 lebih bayar atau kurang bayar maka dijelaskan kembali pada Pasal 1a dan 2 yaitu:
“1a. Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.
2. Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.”
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#67
Pertanyaan :
Bagaimana penanganan atas kesalahan pencantuman kode negara pada Formulir 1721-A1?
Jawaban
Merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-14/PJ/2013 bahwa “kode negara pada Formulir 1721-A1 diisikan ketika penerima penghasilan adalah Karyawan Asing”.
Adapun ketika terdapat kesalahan pencantuman kode negara pada Formulir 1721-A1 maka Perusahaan atau Pemberi Kerja harus melakukan koreksi atas Formulir 1721-A1 yang telah diterbitkan. Dan ketika SPT Masa Pajak Desember telah dilaporkan maka Perusahaan juga harus melakukan pembetulan dan melaporkan SPT Masa Pajak Desember tersebut.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#66
Pertanyaan :
Jenis usaha apa saja yang termasuk kedalam Program JKK dengan Presentase 1,74%?
Jawaban
Jenis usaha yang termasuk kedalam Program JKK dengan Persentase 1,74% dapat merujuk pada Lampiran I PP Nomor 44 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja:
1. Penebangan dan pemotongan kayu/panglong
2. Asam belerang
3. Pabrik pupuk
4. Pabrik kaleng
5. Perbaikan rumah, jalan-jalan, terusan-terusan konstruksi berat, pipa air, jembatan kereta api, dan instalasi listrik
6. Pengangkutan barang dan penumpang di laut
7. Pengangkutan barang dan penumpang di udara
8. Pabrik korek api
9. Pertambangan minyak mentah dan gas bumi (migas)
10. Penggalian batu
11. Penggalian tanah liat
12. Penggalian pasir
13. Penggalian gamping
14. Penggalian belerang
15. Tambang intan dan batu perhiasan
16. Pertambangan lainnya
17. Tambang emas dan perak
18. Penghasilan batu bara
19. Tambang besi mentah
20. Tambang timah
21. Tambang bauksit
22. Tambang mangan
23. Tambang logam lainnya
24. Pabrik bahan peledak, bahan petasan, dan pabrik kembang api
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#65
Pertanyaan :
Apakah aturan pembulatan nilai Penghasilan Kena Pajak atas Penghasilan yang diterima oleh Pegawai Dinas Luar Asuransi?
Jawaban
Merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 14 Ayat 1 dan 8 yakni:
“1. Tarif berdasarkan Pasal 17 Ayat 1 huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dari Pegawai Tetap, Penerima Pensiun berkala yang dibayarkan secara bulanan dan Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang dibayarkan secara bulanan
8. Jumlah Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan Tarif Pasal 17 Ayat 1 huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dibulatkan ke bawah hingga ribuan penuh”.
Dengan demikian tidak terdapat peraturan perpajakan yang mengatur pembulatan nilai Penghasilan Kena Pajak atas Penghasilan yang diterima oleh Pegawai Dinas Luar Asuransi sehingga dalam menghitung PPh Pasal 21 atas Penghasilan yang diterima oleh Pegawai Dinas Luar Asuransi tidak dilakukan pembulatan nilai Penghasilan Kena Pajak.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#64
Pertanyaan :
Bagaimanakah prosedur cetak ulang NPWP jika rusak atau hilang?
Jawaban
Tidak terdapat peraturan yang mengatur secara rinci prosedur cetak ulang NPWP jika rusak atau hilang. Namun berdasarkan informasi dari Kring Pajak bahwa NPWP yang rusak atau hilang dapat dicetak ulang. Ketika yang hilang atau rusak adalah NPWP Orang Pribadi persyaratan yang diperlukan adalah:
1. Surat Keterangan Hilang dari Kepolisian (jika kartu hilang)
2. NPWP yang rusak (jika NPWP rusak)
3. Fotokopi KTP
4. Surat Kuasa jika bukan atas NPWP sendiri
5. Mengisi Formulir cetak ulang NPWP Orang Pribadi (tersedia di Kantor Pajak)
Sedangkan persyaratan untuk mencetak ulang NPWP Badan adalah:
1. Surat Keterangan Hilang dari Kepolisian (jika kartu hilang)
2. NPWP yang rusak (jika NPWP rusak)
3. Fotokopi NPWP Direktur Perusahaan
4. Fotokopi Akta Perusahaan
4. Surat Kuasa jika yaang mengurus pencetakan ulang bukan Direktur Perusahaan
5. Mengisi Formulir cetak ulang NPWP Perusahaan (tersedia di Kantor Pajak).
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#63
Pertanyaan :
Bagaimana cara menghitung PPh Pasal 21 atas Penghasilan yang diterima Komisaris yang merangkap sebagai Pegawai Tetap?
Jawaban
Merujuk definisi Pegawai Tetap pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 yaitu “pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas, serta pekerja yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur”.
Dengan demikian cara menghitung PPh Pasal 21 atas Penghasilan yang diterima Komisaris yang merangkap sebagai Pegawai Tetap sama dengan cara menghitung PPh Pasal 21 untuk Pegawai Tetap yang contoh penghitungannya terdapat pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 bagian contoh penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 Nomor 1.1.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#62
Pertanyaan :
Bagaimana pelaporan SPT PPh Orang Pribadi ketika suami istri memiliki NPWP yang sama namun berpisah di pertengahan tahun?
Jawaban
Merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 11 Ayat 5 yakni “Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal Tahun Kalender”. Dengan demikian ketika suami istri memiliki NPWP yang sama namun berpisah di pertengahan tahun pelaporan pajaknya tetap sama dengan tahun-tahun sebelumnya karena di tahun tersebut suami istri tersebut masih dianggap satu kesatuan.
Sehingga pelaporan pajaknya dengan mencantumkan penghasilan dan PPh Pasal 21 yang dipotong dari penghasilan istri dianggap PPh Final. Hal ini merujuk pada UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 8 Ayat 1 yakni “Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya”.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#61
Pertanyaan :
Apakah diperkenankan Peserta BPJS Ketenagakerjaan Bukan Penerima Upah untuk juga mengikuti Program Jaminan Pensiun (JP)?
Jawaban
Peserta BPJS Ketenagakerjaan Bukan Penerima Upah adalah pekerja yang melakukan kegiatan atau usaha ekonomi secara mandiri untuk memperoleh penghasilan dari kegiatan atau usahanya tersebut. Merujuk pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2015 tentang Jaminan Pensiun Pasal 2 Ayat 1 “Peserta terdiri atas pekerja yang bekerja pada Pemberi Kerja Penyelenggara Negara dan Pekerja yang bekerja pada Pemberi Kerja selain Penyelenggara Negara”.
Dengan demikian Peserta BPJS Ketenagakerjaan Bukan Penerima Upah tidak dapat mengikuti Program Jaminan Pensiun (JP) karena Program Jaminan Pensiun (JP) hanya dapat diikuti oleh Pekerja Penerima Upah baik yang bekerja pada Penyelenggara Negara maupun yang bekerja selain pada Penyelenggara Negara.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#60
Pertanyaan :
Bagaimana penghitungan PPh Pasal 21 atas Ekspatriat yang terminasi dan kembali ke negara asalnya namun masih berencana kembali bekerja di Indonesia?
Jawaban
Untuk mengetahui cara menghitung PPh Pasal 21 atas Ekspatriat yang terminasi dan kembali ke negara asalnya namun masih berencana kembali bekerja di Indonesia adalah menentukan Ekspatriat tersebut kehilangan kewajiban pajak subjektifnya atau tidak kehilangan kewajiban pajak subjektifnya. Merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2011 Pasal 3 Ayat 1 huruf a yakni “Subjek Pajak Dalam Negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau dalam suatu Tahun Pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia”.
Yang dimaksud “mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia” dijelaskan pada Pasal 11 huruf a yakni ” Subjek pajak Orang Pribadi menunjukan niat secara tegas untuk bertempat tinggal di Indonesia, yang dapat dibuktikan dengan dokumen berupa Visa bekerja atau Kartu Izin Tinggal Terbatas, lebih dari 183 hari atau kontrak / perjanjian untuk melakukan pekerjaan, usaha, atau kegiatan yang dilakukan di Indonesia selama lebih dari 183 hari”
Dalam hal Ekspatriat yang telah menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri berhenti bekerja dan kembali ke negara asalnya namun masih berencana kembali bekerja di Indonesia maka dikategorikan tidak kehilangan kewajiban pajak subjektifnya selama Ekspatriat tersebut dapat menunjukan dokumen pendukung seperti yang dijelaskan pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2011.
Dengan demikian penghitungan PPh Pasal 21 di masa pajak terakhir Ekspatriat tersebut merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 14 Ayat 4 yakni “Dalam hal kewajiban pajak subjektif Pegawai Tetap terhitung sejak awal tahun kalender dan mulai bekerja setelah Bulan Januari, termasuk pegawai yang sebelumnya bekerja pada pemberi kerja lain, banyaknya bulan yang menjadi faktor pengali sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) atau faktor pembagi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah jumlah bulan tersisa dalam tahun kalender sejak yang bersangkutan mulai bekerja”
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#59
Pertanyaan :
Apa pengaruhnya jika seluruh persentase Iuran Jaminan Pensiun (JP) sebesar 3% dibayarkan oleh Perusahaan?
Jawaban
Merujuk pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2015 Pasal 28 Ayat 3 yaitu “Iuran sebesar 3% (tiga persen) sebagaimana dimaksud pada ayat 2 wajib ditanggung oleh Pemberi Kerja selain Penyelenggara Negara dan Peserta dengan ketentuan 2% (dua persen) dari upah ditanggung oleh Pemberi Kerja selain Penyelenggara Negara dan 1% (satu persen) dari upah ditanggung oleh Peserta”.
Dikarenakan Jaminan Pensiun (JP) yang ditanggung oleh Pekerja dalam Penghitungan PPh Pasal 21 dikategorikan sebagai pengurang penghasilan neto maka apabila porsi Jaminan Pensiun (JP) yang ditanggung oleh Pekerja tersebut dibayarkan oleh Perusahaan maka JP tersebut tidak dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan neto dan akan menyebabkan nominal PPh Pasal 21 yang dipotong menjadi lebih besar.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#58
Pertanyaan :
Apakah Karyawan Magang wajib didaftarkan sebagai Peserta BPJS Ketenagakerjaan?
Jawaban
Merujuk pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2015 Pasal 28 Ayat 1 yaitu “Dalam hal magang, siswa kerja praktek, tenaga honorer, atau narapidana yang dipekerjakan pada Pemberi Kerja selain penyelenggara negara dalam proses asimilasi, apabila mengalami Kecelakaan Kerja, dianggap sebagai Pekerja dan berhak memperoleh manfaat JKK sesuai ketentuan dalam Pasal 25 ayat (2)”.
Adapun cara penghitungan Iuran JKK atas Karyawan Magang dijelaskan pada ayat selanjutnya yakni ayat 2 yaitu “Untuk menghitung besarnya manfaat JKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka magang atau siswa kerja praktek atau narapidana dianggap menerima Upah sebesar Upah terendah sebulan dari Pekerja yang melakukan pekerjaan yang sama pada Pemberi Kerja selain penyelenggara negara tempat yang bersangkutan bekerja atau dipekerjakan”.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#57
Pertanyaan :
Apakah SPT Masa PPh Pasal 21 dengan nilai nominal pajak nihil tetap wajib lapor e-Filing?
Jawaban
Merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2018 Pasal 10 Ayat 2 dan 2a yaitu:
“2. Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf e tidak berlaku dalam hal jumlah PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong pada Masa Pajak yang bersangkutan nihil.
2a. Dalam hal jumlah PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong pada Masa Pajak Desember nihil, kewajiban untuk melaporkan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf e tetap berlaku”.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2018 Pasal 10 Ayat 1 huruf e yang dimaksud adalah “Wajib Pajak Pribadi atau Badan, baik yang melakukan pembayaran pajak sendiri maupun yang ditunjuk sebagai pemotong atau pemungut PPh wajib melaporkan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26”.
Dengan demikian SPT Masa PPh Pasal 21 dengan nilai nominal pajak nihil tetap wajib dilaporkan namun hanya pada Masa Pajak Desember.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#56
Pertanyaan :
Apa pengaruhnya jika seluruh persentase Iuran Jaminan Hari Tua (JHT) sebesar 5,7% dibayarkan oleh Perusahaan?
Jawaban
Merujuk pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2015 Pasal 16 Ayat 1 yaitu “Iuran JHT bagi Peserta Penerima Upah yang bekerja pada Pemberi Kerja selain Penyelenggara Negara sebesar 5,7% (lima koma tujuh persen) dari Upah dengan ketentuan 2% (dua persen) ditanggung oleh Pekerja dan 3,7% (tiga koma tujuh persen) ditanggung oleh Pemberi Kerja”.
Dikarenakan Jaminan Hari Tua (JHT) yang ditanggung oleh Pekerja dalam Penghitungan PPh Pasal 21 dikategorikan sebagai pengurang penghasilan neto maka apabila porsi Jaminan Hari Tua (JHT) yang ditanggung oleh Pekerja tersebut dibayarkan oleh Perusahaan maka JHT tersebut tidak dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan neto dan akan menyebabkan nominal PPh Pasal 21 yang dipotong menjadi lebih besar.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#55
Pertanyaan :
Apa implikasi perubahan peraturan terkait Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) di pertengahan Tahun Pajak?
Jawaban
Implikasi perubahan peraturan terkait Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) di pertengahan Tahun Pajak dicontohkan pada saat perubahan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) di Tahun 2016. Perubahan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) di Tahun 2016 merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 27 yaitu “Dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak, maka penghitungan PPh Pasal 21 untuk Tahun Pajak 2016 berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. penghitungan dan penyetoran PPh Pasal 21 serta pelaporan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 untuk Tahun Pajak 2016 dihitung dengan menggunakan Penghasilan Tidak Kena Pajak berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016;
b. PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Januari sampai dengan Juni yang telah dihitung, disetor dan dilaporkan dengan menggunakan Penghasilan Tidak Kena Pajak berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.010/2015 dilakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21, dan dalam hal terdapat kelebihan setor, maka dapat dikompensasikan mulai Masa Pajak Juli 2016; dan
c. penghitungan PPh Pasal 21 terutang pada pembetulan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 Masa Pajak Januari sampai dengan Juni 2016 sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilakukan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini”.
Dengan demikian ketika terdapat perubahan peraturan terkait Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) di pertengahan Tahun Pajak maka akan dilakukan penghitungan ulang PPh Pasal 21 dengan menggunakan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang baru dan dengan melakukan pembetulan SPT Masa ketika masih menggunakan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) lama serta jika terdapat kelebihan setor atas pembetulan tersebut maka dapat dikompensasikan ke masa pajak selanjutnya.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#54
Pertanyaan :
Apakah konsekuensi bagi perusahaan jika tidak mendaftarkan Karyawan sebagai Peserta BPJS Kesehatan?
Jawaban
Setiap Perusahaan diwajibkan untuk mendaftarkan Karyawannya sebagai Peserta BPJS Kesehatan. Hal ini merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Pasal 15 Ayat 1 yaitu “Pemberi Kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti”.
Sedangkan konsekuensi bagi Perusahaan jika tidak mendaftarkan Karyawan sebagai Peserta BPJS Kesehatan dapat merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Pasal 17 Ayat 1 yaitu “Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dan setiap orang yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dikenai sanksi administratif”.
Yang dimaksud sanksi administratif dijelaskan kembali pada Ayat selanjutnya yakni Ayat 2 yaitu “Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. teguran tertulis;
b. denda; dan/atau
c. tidak mendapat pelayanan publik tertentu”.
Sanksi teguran tertulis dijelaskan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2013 Pasal 6 Ayat 1 yaitu “Pengenaan sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a diberikan paling banyak 2 (dua) kali masing-masing untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja”.
Sanksi denda dijelaskan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2013 Pasal 7 Ayat 1 yaitu “Pengenaan sanksi denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak berakhirnya pengenaan sanksi teguran tertulis kedua berakhir”. Besarnya denda dijelaskan pada Pasal selanjutnya yakni Pasal 10 Ayat 4 yaitu “Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sebesar 0,1% (nol koma satu persen) setiap bulan dari iuran yang seharusnya dibayar yang dihitung sejak teguran tertulis kedua berakhir”.
Sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu dijelaskan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2013 Pasal 9 Ayat 1 yaitu “Sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu yang dikenai kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara meliputi:
a. perizinan terkait usaha;
b. izin yang diperlukan dalam mengikuti tender proyek;
c. izin memperkerjakan tenaga kerja asing;
d. izin perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; atau
e. Izin Mendirikan Bangunan (IMB).”
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#53
Pertanyaan :
Bagaimana penghitungan PPh Pasal 21 atas Uang Manfaat Pensiun yang dibayarkan oleh DPLK / DPPK yang belum disahkan Menteri Keuangan?
Jawaban
Merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2010 Pasal 4 Ayat 1 yaitu “Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun ditentukan sebagai berikut:
a. sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
b. sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)”.
Namun penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun yang menggunakan tarif tersebut adalah Uang Manfaat Pensiun yang dibayarkan oleh DPLK / DPPK yang telah disahkan Menteri Keuangan seperti yang terdapat pada peraturan yang sama Pasal 1 Angka 5 yaitu “Uang Manfaat Pensiun adalah penghasilan dari manfaat pensiun yang dibayarkan kepada orang pribadi peserta dana pensiun secara sekaligus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang dana pensiun oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan”.
Adapun ketika Uang Manfaat Pensiun dibayarkan selain oleh DPLK / DPPK yang telah disahkan Menteri Keuangan tidak terdapat peraturan yang mencantumkan secara jelas tarif pemotongannya. Namun pada praktiknya Uang Manfaat Pensiun yang dibayarkan selain oleh DPLK / DPPK yang telah disahkan Menteri Keuangan dihitungkan sebagai Pesangon yang diberikan oleh pemberi kerja.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#52
Pertanyaan :
Jika seseorang Karyawan telah lebih dulu memiliki Asuransi Kesehatan lain, apakah masih wajib menjadi Peserta BPJS Kesehatan?
Jawaban
Setiap Perusahaan diwajibkan untuk mendaftarkan Karyawannya sebagai Peserta BPJS baik BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Pasal 15 Ayat 1 yaitu “Pemberi Kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti”.
Dengan demikian Karyawan yang telah lebih dulu memiliki Asuransi Kesehatan lain wajib didaftarkan oleh Perusahaannya sebagai Peserta BPJS Kesehatan.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#51
Pertanyaan :
Adakah implikasi fluktuasi pajak dan Take Home Pay yang berpotensi terjadi diakhir tahun apabila terdapat pembayaran Rapel setelah pembayaran Salary Component Tidak Teratur?
Jawaban
Merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 14 Ayat 2 yakni “Untuk penghitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap Masa Pajak, kecuali Masa Pajak terakhir, tarif diterapkan atas perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. perkiraan atas penghasilan yang bersifat teratur adalah jumlah penghasilan teratur dalam 1 (satu) bulan dikalikan 12 (dua belas);
b. dalam hal terdapat tambahan penghasilan yang bersifat tidak teratur maka perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun adalah sebesar jumlah pada huruf a ditambah dengan jumlah penghasilan yang bersifat tidak teratur”.
Dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 14 ayat 5 yakni “Besarnya PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk Masa Pajak terakhir adalah selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan kena pajak selama 1 (satu) tahun pajak atau bagian tahun pajak dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada masa-masa sebelumnya dalam tahun pajak yang bersangkutan”.
Dengan demikian akan terdapat potensi fluktuasi pajak ketika Karyawan menerima pembayaran Rapel setelah pembayaran Salary Component Tidak Teratur dikarenakan pajak atas Penghasilan Tidak Teratur dihitungkan dengan Penghasilan Teratur yang masih relatif kecil sehingga memungkinkan perpindahan tarif pajak atas Penghasilan Tidak Teratur pada masa pajak terakhir.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#50
Pertanyaan :
Bagaimanakah penentuan masa perolehan atas Karyawan yang mengalami Termination Backdated?
Jawaban
Terdapat empat (4) program disediakan oleh BPJS Ketenagakerjaan yaitu:
1. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)
2. Jaminan Kematian (JKM)
3. Jaminan Hari Tua (JHT)
4. Jaminan Pensiun (JP)
Definisi dari Pekerja Bukan Penerima Upah adalah pekerja yang melakukan kegiatan atau usaha ekonomi secara mandiri untuk memperoleh penghasilan dari kegiatan atau usahanya tersebut. Sedangkan definisi dari Pekerja Penerima Upah adalah pekerja yang bekerja dengan menerima gaji, upah , atau imbalan dalam bentuk lain dari pemberi kerja.
Terdapat perbedaan program yang dapat diikuti antara Pekerja Penerima Upah dengan Pekerja Bukan Penerima Upah. Pekerja Penerima Upah dapat mengikuti seluruh program yang disediakan oleh BPJS Ketenagakerjaan. Sedangkan Pekerja Bukan Penerima Upah hanya dapat mengikuti tiga (3) program yakni Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), dan Jaminan Hari Tua (JHT). Adapun rujukan peraturannya terdapat pada:
1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Pasal 5 Ayat 1 “Peserta program JKK dan JKM terdiri dari Peserta Penerima Upah yang bekerja pada Pemberi Kerja selain Penyelenggara Negara dan Peserta Bukan Penerima Upah”.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2015 tentang Jaminan Pensiun Pasal 2 Ayat 1 “Peserta terdiri atas pekerja yang bekerja pada Pemberi Kerja Penyelenggara Negara dan Pekerja yang bekerja pada Pemberi Kerja selai Penyelenggara Negara”.
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2015 tentang Jaminan Pensiun Pasal 4 Ayat 1 “Peserta program JHT terdiri atas Peserta Penerima Upah yang bekerja pada Pemberi Kerja selain Penyelenggara Negara dan Peserta Bukan Penerima Upah”.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#49
Pertanyaan :
Apa sajakah persyaratan Klaim Jaminan Hari Tua (JHT) secara penuh?
Jawaban
Merujuk pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2015 Pasal 26 Ayat 1 yaitu “Manfaat JHT wajib dibayarkan kepada Peserta apabila:
a. Peserta mencapai usia pensiun;
b. Peserta mengalami cacat total tetap; atau
c. Peserta meninggal dunia”.
Yang dimaksud “Peserta mencapai usia pensiun” dijelaskan pada bagian penjelasan di Peraturan yang sama yaitu “Yang dimaksud dengan “mencapai usaia pensiun” termasuk Peserta yang berhenti bekerja”.
Adapun persyaratan untuk melakukan klaim atau pencairan manfaat JHT secara penuh merujuk pada Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Nomor 7 Tahun 2015 yaitu “Peserta mengajukan pembayaran manfaat JHT dengan mengisi formulir pengajuan klaim yang dilengkapi dokumen sebagai berikut:
a. Kartu asli peserta BPJS Ketenagakerjaan
b. Surat keterangan berhenti bekerja karena usia pensiun dari Perusahaan (untuk peserta yang berhenti bekerja karena mencapai usia pensiun)
c. Surat keterangan pengunduran diri dari Perusahaan tempat bekerja yang ditujukan kepada dan diketahui Dinas Ketenagakerjaan setempat dengan tembusan kepada BPJS Ketenagakerjaan setempat (untuk peserta yang berhenti bekerja sebelum memasuki usia pensiun)
d. Surat keterangan dari dokter yang merawat atau dokter penasehat yang menyatakan cacat total tetap (untuk peserta yang mengalami cacat total tetap)
e. Surat keterangan tidak mampu bekerja karena cacat atau berhenti bekerja dari Pemberi Kerja (untuk peserta yang mengalami cacat total tetap)
f. Surat keterangan kematian dari Rumah Sakit / Kepolisian / Kelurahan atau fotokopi legalisir dengan menunjukan yang aslinya (untuk peserta yang meninggal dunia)
g. Surat keterangan ahli waris dari instansi yang berwenang (untuk peserta yang meninggal dunia)
h. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga yang masih berlaku (untuk peserta yang berhenti bekerja karena mencapai usia pensiun, peserta yang berhenti bekerja sebelum memasuki usia pensiun dan peserta yang mengalami cacat total tetap)
i. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk peserta dan ahli waris serta Kartu Keluarga yang masih berlaku (untuk peserta yang meninggal dunia)
j. Fotokopi rekening tabungan jika pembayaran dilakukan melalui transfer”.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#48
Pertanyaan :
Bagaimanakah cara menentukan tarif iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) bagi setiap Perusahaan?
Jawaban
Penentuan tarif iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) bagi setiap Perusahaan dapat merujuk pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2015 Pasal 16 Ayat 1 yaitu Iuran JKK bagi Peserta penerima Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), dikelompokkan dalam 5 (lima) kelompok tingkat risiko lingkungan kerja, meliputi:
a. tingkat risiko sangat rendah : 0,24% (nol koma dua puluh empat persen) dari Upah sebulan;
b. tingkat risiko rendah : 0,54% (nol koma lima puluh empat persen) dari Upah sebulan;
c. tingkat risiko sedang : 0,89% (nol koma delapan puluh sembilan persen) dari Upah sebulan;
d. tingkat risiko tinggi : 1,27% (satu koma dua puluh tujuh persen) dari Upah sebulan; dan
e. tingkat risiko sangat tinggi : 1,74% (satu koma tujuh puluh empat persen) dari Upah sebulan”.
Pengelompokan tingkat risiko lingkungan kerja secara rinci terdapat pada Lampiran I Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2015, diantaranya :
1. Tingkat Resiko Sangat Rendah seperti Bank dan kantor-kantor perdagangan
2. Tingkat Resiko Rendah seperti Perkebunan tembakau dan Industri alat-alat musik
3. Tingkat Resiko Sedang seperti Pabrik semen dan Industri tekstil
4. Tingkat Resiko Tinggi seperti Perusahaan kereta api dan Pabrik alkohol
5. Tingkat Resiko Sangat Tinggi seperti Tambang timah dan Pabrik bahan peledak.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#47
Pertanyaan :
Apakah konsekuensi bagi Perusahaan jika tidak mendaftarkan Karyawan sebagai Peserta BPJS Ketenagakerjaan?
Jawaban
Setiap Perusahaan diwajibkan untuk mendaftarkan Karyawannya sebagai Peserta BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Pasal 15 Ayat 1 yaitu “Pemberi Kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti”.
Sedangkan konsekuensi bagi Perusahaan jika tidak mendaftarkan Karyawan sebagai Peserta BPJS Ketenagakerjaan dapat merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Pasal 17 Ayat 1 yaitu “Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dan setiap orang yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dikenai sanksi administratif”.
Yang dimaksud sanksi administratif dijelaskan kembali pada Ayat selanjutnya yakni Ayat 2 yaitu “Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. teguran tertulis;
b. denda; dan/atau
c. tidak mendapat pelayanan publik tertentu”.
Sanksi teguran tertulis dijelaskan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2013 Pasal 6 Ayat 1 yaitu “Pengenaan sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a diberikan paling banyak 2 (dua) kali masing-masing untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja”.
Sanksi denda dijelaskan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2013 Pasal 7 Ayat 1 yaitu “Pengenaan sanksi denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak berakhirnya pengenaan sanksi teguran tertulis kedua berakhir”. Besarnya denda dijelaskan pada Pasal selanjutnya yakni Pasal 10 Ayat 4 yaitu “Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sebesar 0,1% (nol koma satu persen) setiap bulan dari iuran yang seharusnya dibayar yang dihitung sejak teguran tertulis kedua berakhir”.
Sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu dijelaskan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2013 Pasal 9 Ayat 1 yaitu “Sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu yang dikenai kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara meliputi:
a. perizinan terkait usaha;
b. izin yang diperlukan dalam mengikuti tender proyek;
c. izin memperkerjakan tenaga kerja asing;
d. izin perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; atau
e. Izin Mendirikan Bangunan (IMB).”
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#46
Pertanyaan :
Kapankah Saldo BPJS Ketenagakerjaan Program Jaminan Hari Tua (JHT) dapat dicairkan untuk Karyawan yang sudah berhenti bekerja?
Jawaban
Merujuk pada Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Nomor 7 Tahun 2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua Pasal 4 Ayat 1 yaitu “Pemberian manfaat JHT bagi peserta yang mengundurkan diri dari tempat bekerjanya dan tidak sedang bekerja kembali, dapat mengajukan pembayaran manfaat JHT dengan masa tunggu 1 (satu) bulan terhitung dari surat pengunduran diri dari Perusahaan diterbitkan”.
Yang dimaksud masa tunggu 1 (satu) bulan dijelaskan kembali pada Ayat selanjutnya yakni Ayat 2 yaitu “Masa tunggu 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) terhitung sejak non aktif kepesertaan di BPJS Ketenagakerjaan”.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#45
Pertanyaan :
Apakah perbedaan Pajak yang ditunjang Perusahaan dengan Pajak yang ditanggung Perusahaan?
Jawaban
Sebelum menjelaskan perbedaan Pajak yang ditunjang Perusahaan dengan Pajak yang ditanggung Perusahaan, terlebih dahulu perlu dipahami pengertian Pajak yang ditunjang Perusahaan dengan Pajak yang ditanggung Perusahaan. Yang dimaksud Pajak yang ditunjang Perusahaan adalah nominal Pajak yang dihasilkan dari penghitungan Pajak akan dibayarkan oleh perusahaan dalam bentuk Tunjangan Pajak. Sedangkan yang dimaksud Pajak yang ditanggung Perusahaan adalah nominal Pajak yang dihasilkan dari penghitungan Pajak akan dibayarkan langsung oleh perusahaan.
Contoh penghitungan untuk Pajak yang ditunjang Perusahaan merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 bagian contoh penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 Nomor 1.9. yakni “Dalam hal kepada Pegawai diberikan Tunjangan Pajak, maka Tunjangan Pajak tersebut merupakan penghasilan pegawai yang bersangkutan dan ditambahkan pada penghasilan yang diterimanya”.
Sedangkan penjelasan penghitungan untuk Pajak yang ditanggung Perusahaan merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 8 Ayat (1) huruf b yakni “Tidak termasuk penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali penghasilan sebagaimana dalam Pasal 5 Ayat (2)”. Dan contoh penghitungannya terdapat pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 bagian contoh penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 Nomor 1.8.
Dengan demikian ketika Perusahaan menanggung Pajak atau menunjang Pajak Karyawan maka nominal Take Home Pay akan sama. Namun ketika Perusahaan menanggung Pajak maka nominal Pajak Karyawan yang dibayarkan oleh Perusahaan tidak dapat dibebankan dalam SPT Tahunan Wajib Pajak Badan karena Pajak Karyawan yang dibayarkan oleh Perusahaan tidak dikategorikan sebagai Objek Pajak.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#44
Pertanyaan :
Apakah perusahaan dapat menanggung seluruh Iuran BPJS Kesehatan dengan persentase 5% dan apa implikasinya terhadap PPh Pasal 21?
Jawaban
Merujuk pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 bahwa Iuran BPJS Kesehatan untuk Pekerja Penerima Upah Badan Usaha Swasta sebesar tarif 5% dari upah per bulan dengan ketentuan 4% dibayar oleh Perusahaan dan 1% dibayar Karyawan.
Namun Perusahaan diperbolehkan jika ingin menanggung seluruh Iuran BPJS Kesehatan. Dengan demikian karena Iuran BPJS Kesehatan yang dibayar oleh Perusahaan dikategorikan sebagai Objek Pajak PPh Pasal 21, maka kenaikan persentase Iuran BPJS Kesehatan yang dibayar oleh Perusahaan dari 4% menjadi 5% akan menjadikan nominal PPh Pasal 21 yang dipotong menjadi lebih besar.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#43
Pertanyaan :
Apakah PPh Pasal 26 yang dipotong Perusahaan selalu bersifat final?
Jawaban
Penghitungan PPh Pasal 26 terdapat pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 19 Ayat 1 yakni “Tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dan bersifat final diterapkan atas penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak Luar Negeri dengan memperhatikan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku antara Republik Indonesia dengan negara domisili Subjek Pajak Luar Negeri tersebut”.
Namun tidak selalu PPh Pasal 26 yang dipotong Perusahaan bersifat final, ada kondisi PPh Pasal 26 yang dipotong Perusahaan bersifat tidak final atau perlu dihitungkan kembali pada pelaporan SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi. Hal ini dijelaskan pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 19 Ayat 2 yakni “PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat tidak final dalam hal Orang Pribadi sebagai Wajib Pajak Luar Negeri tersebut berubah status menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri”.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#42
Pertanyaan :
Adakah implikasi fluktuasi Pajak yang berpotensi terjadi di akhir tahun jika Karyawan menerima beberapa Penghasilan Tidak Teratur yang bernilai relatif kecil?
Jawaban
Merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 14 Ayat 2 yakni “Untuk penghitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap Masa Pajak, kecuali Masa Pajak terakhir, tarif diterapkan atas perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. perkiraan atas penghasilan yang bersifat teratur adalah jumlah penghasilan teratur dalam 1 (satu) bulan dikalikan 12 (dua belas);
b. dalam hal terdapat tambahan penghasilan yang bersifat tidak teratur maka perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun adalah sebesar jumlah pada huruf a ditambah dengan jumlah penghasilan yang bersifat tidak teratur”.
Dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 14 ayat 5 yakni “Besarnya PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk Masa Pajak terakhir adalah selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan kena pajak selama 1 (satu) tahun pajak atau bagian tahun pajak dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada masa-masa sebelumnya dalam tahun pajak yang bersangkutan”.
Dengan demikian akan terdapat potensi fluktuasi pajak ketika Karyawan menerima beberapa Penghasilan Tidak Teratur yang bernilai relatif kecil dibandingkan dengan Gaji Pokok dikarenakan adanya kemungkinan perpindahan tarif pajak pada perhitungan masa pajak terakhir yang menyebabkan adanya kemungkinan kekurangan perhitungan pajak atas Penghasilan Tidak Teratur tersebut yang harus dibebankan di perhitungan masa pajak terakhir.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#41
Pertanyaan :
Bagaimana cara menghitung pajak atas Peserta Kegiatan yang berstatus Subjek Pajak Luar Negeri dan mendapatkan penghasilan di Indonesia?
Jawaban :
Pada pertanyaan yang telah dijawab sebelumnya terkait penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh Peserta Kegiatan dijelaskan pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 16 Ayat 2 yaitu “Tarif berdasarkan Pasal 17 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas jumlah penghasilan bruto untuk setiap kali pembayaran yang bersifat utuh dan tidak dipecah, yang diterima oleh peserta kegiatan.”
Namun ketika Peserta Kegiatan yang berstatus Subjek Pajak Luar Negeri maka penghitungan pajaknya merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 19 Ayat 1 yakni “Tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dan bersifat final diterapkan atas penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak Luar Negeri dengan memperhatikan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku antara Republik Indonesia dengan negara domisili Subjek Pajak Luar Negeri tersebut”.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#40
Pertanyaan :
Adakah implikasi fluktuasi pajak yang berpotensi terjadi bagi Karyawan yang baru memiliki NPWP di Bulan Desember?
Jawaban :
Ketika Karyawan yang baru memiliki NPWP di Bulan Desember tahun berjalan maka penghitungan PPh Pasal 21 merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 20 Ayat 4 yakni “Dalam hal Pegawai Tetap atau penerima pensiun berkala sebagai penerima penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dalam Tahun Kalender yang bersangkutan paling lama sebelum pemotongan PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Desember, PPh Pasal 21 yang telah dipotong atas selisih pengenaan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) lebih tinggi tersebut diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak”.
Dengan asumsi Karyawan memperoleh penghasilan yang sama pada setiap bulan dari Bulan Januari sampai dengan Bulan Desember di tahun tersebut maka ketika Karyawan yang baru memiliki NPWP di Bulan Desember akan terdapat implikasi fluktuasi pajak berupa tidak ada PPh Pasal 21 yang dipotong di Bulan Desember dan akan terdapat pengembalian pajak ke Karyawan.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#39
Pertanyaan :
Apa itu metode Weighted Average? Relevankah metode penyetahunan penghasilan dengan Weighted Average dalam penghitungan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap?
Jawaban :
Metode Weighted Average adalah metode yang menerapkan konsep rata-rata dalam menentukan suatu nilai. Metode ini sering digunakan dalam Ilmu Akuntansi untuk menentukan nilai persediaan barang dagang. Namun dalam hal ini metode Weighted Average yang dimaksud adalah metode rata-rata untuk menentukan nilai proyeksi penyetahunan dalam Penghitungan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap.
Terdapat beberapa metode Weighted Average yang diterapkan dalam menentukan nilai proyeksi penyetahunan, yakni:
1. Total Penghasilan Teratur Bulan Sebelumnya Pada Tahun Berjalan + (Penghasilan Teratur Bulan Berjalan x Jumlah Sisa Bulan Pada Tahun Berjalan) + Total Penghasilan Tidak Teratur Bulan Sebelumnya Pada Tahun Berjalan + Penghasilan Tidak Teratur Bulan Berjalan.
2. (Total Penghasilan Teratur Dari Awal Tahun Sampai Bulan Berjalan / Jumlah Bulan Dari Awal Tahun Sampai Bulan Berjalan) x 12 + Total Penghasilan Tidak Teratur Bulan Sebelumnya Pada Tahun Berjalan + Penghasilan Tidak Teratur Bulan Berjalan.
3. Total Penghasilan Teratur Bulan Sebelumnya Pada Tahun Berjalan + [(Total Penghasilan Teratur Dari Awal Tahun Sampai Bulan Berjalan / Jumlah Bulan Dari Awal Tahun Sampai Bulan Berjalan) x Sisa Bulan Pada Tahun Berjalan] + Total Penghasilan Tidak Teratur Bulan Sebelumnya Pada Tahun Berjalan + Penghasilan Tidak Teratur Bulan Berjalan.
Namun metode ini tidak relevan dalam menentukan nilai proyeksi penyetahunan dalam Penghitungan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap. Hal ini karena Dirjen Pajak telah menjelaskan secara jelas bahwa untuk menentukan nilai proyeksi penyetahunan dalam Penghitungan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 14 Ayat 2 yakni “Untuk penghitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap Masa Pajak, kecuali Masa Pajak terakhir, tarif diterapkan atas perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. perkiraan atas penghasilan yang bersifat teratur adalah jumlah penghasilan teratur dalam 1 (satu) bulan dikalikan 12 (dua belas);
b. dalam hal terdapat tambahan penghasilan yang bersifat tidak teratur maka perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun adalah sebesar jumlah pada huruf a ditambah dengan jumlah penghasilan yang bersifat tidak teratur”. Dan untuk contoh penghitungannya dapat merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 bagian contoh penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 Nomor 1.1.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#38
Pertanyaan :
Bagaimana penentuan Tax Status untuk Ekspatriat yang baru menetap dan mulai bekerja di Indonesia pada pertengahan tahun pajak?
Jawaban :
Penentuan Tax Status atau besarnya PTKP yang akan digunakan dalam penghitungan PPh Pasal 21 pada Tahun Pajak dapat merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 11 Ayat 5 yakni “Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal Tahun Kalender”.
Namun ketika Ekspatriat baru menetap dan mulai bekerja di Indonesia pada pertengahan tahun pajak penentuan Tax Status atau besarnya PTKP berbeda dengan penetuan Tax Status atau besarnya PTKP Karyawan yang telah mulai bekerja sejak tahun lalu. Hal ini dijelaskan pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 11 Ayat 6 yakni “Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat 5, besarnya PTKP untuk Pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun kalender ditentukan berdasarkan keadaan awal bulan dari bagian tahun kalender yang bersangkutan”
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#37
Pertanyaan :
Apa persyaratan yang harus dipenuhi agar Karyawati boleh memiliki Tax Status selain TK/0?
Jawaban :
Persyaratan yang harus dipenuhi agar Karyawati boleh memiliki Tax Status selain TK/0 dapat merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 11 Ayat 4 yakni “Dalam hal karyawati kawin dapat menunjukan keterangan tertulis dari Pemerintah Daerah setempat serendah-rendahnya kecamatan yang menyatakan bahwa suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya PTKP adalah PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk status kawin dan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya”.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#36
Pertanyaan :
Jenis usaha apa saja yang termasuk kedalam Program JKK dengan Persentase 0,24%?
Jawaban :
Jenis usaha yang termasuk kedalam Program JKK dengan Persentase 0,24% dapat merujuk pada Lampiran I PP Nomor 44 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja:
1. Penjahitan/konveksi
2. Pabrik Kopi
3. Industri Pakaian Lainnya (payung, kulit ikat pinggang, gantungan celana/bretel)
4. Pembuatan Layar dan krey dari tesktil
5. Pabrik keperluan rumah tangga (sprei, selimut, terpal, gorden, dan lain-lain yang ditenun
6. Perdaganga ekspor impor
7. Perdagangan besar lainnya (age-agen perdagangan
8. Perdagangan lainnya (toko, koperasi, penjualan makanan dan lain-lain
9. Bank dan kantor-kantor perdagangan
10. Perusahaan pertanggungan/asuransi
11. Jasa pemerintahan
12. Apotik, pengobatan dan kesehatan lainnya
13. Organisasi-organisasi keagamaan
14. Lembaga Kesejahteraan/Sosial
15. Persatuan perdagangan dan organisasi buruh
16. Balai penyidikan yang berdiri sendiri
17. Jasa Pengamanan dan jasa-jasa umum lainnya seperti museum, perpustakaan, kebun binatang, dan lain-lain
18. Pemangkas rambut dan salon kecantikan
19. Peternakan
20. Industri Kreatif (animasi, desain grafis, arsitektur, dan lain-lain)
21. Jasa Profesi (dokterm pengacara, akuntan, konsultan dan lain-lain)
22. Reparasi arloji dan lonceng
23. Bioskop
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#35
Pertanyaan :
Bagaimana cara menghitung PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima Mantan Pegawai lebih dari (1) kali dalam satu (1) Tahun Pajak?
Jawaban :
Penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima Mantan Pegawai lebih dari (1) kali dalam satu (1) Tahun Pajak dapat merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 16 Ayat 1 huruf d yakni “Tarif berdasarkan Pasal 17 Ayat 1 huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas jumlah kumulatif dari jumlah penghasilan bruto berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus, atau imbalan lain yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai”.
Dengan demikian ketika Mantan Pegawai menerima penghasilan lebih dari satu (1) kali dalam satu (1) tahun maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah menerapkan Tarif Pasal 17 Ayat 1 huruf a UU PPh dengan memperhatikan penghasilan yang sebelumnya diterima oleh Mantan Pegawai di tahun berjalan.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#34
Pertanyaan :
Bagaimana cara menghitung PPh Pasal 21 atas komisi yang diterima oleh Petugas Dinas Luar Asuransi?
Jawaban :
Penghitungan PPh Pasal 21 atas komisi yang diterima oleh Petugas Dinas Luar Asuransi dapat merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 16 Ayat 1 huruf a yakni “Tarif berdasarkan Pasal 17 Ayat 1 huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas jumlah kumulatif dari Penghasilan Kena Pajak, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan, yang diterima atau diperoleh Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat 1 huruf a angka 4 yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Ayat 1”.
Syarat atau ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 13 Ayat 1 adalah “Penerima penghasilan Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat 1 huruf a angka 4 dapat memperoleh pengurangan berupa PTKP sepanjang yang bersangkutan telah mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan satu Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 serta tidak memperoleh penghasilan lainnya”
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#33
Pertanyaan :
Bagaimana cara penghitungan PPh Pasal 21 Bukan Pegawai yang menerima penghasilan berkesinambungan?
Jawaban :
Penghitungan PPh Pasal 21 Bukan Pegawai yang menerima penghasilan berkesinambungan merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 bagian petunjuk umum penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 Nomor IV.1 yakni “Pemotongan PPh Pasal 21 bagi orang pribadi dalam negeri bukan pegawai, atas imbalan yang bersifat berkesinambungan dengan kriteria :
a. Bagi yang telah memiliki NPWP dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 serta tidak memperoleh penghasilan lainnya maka PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat 1 huruf a UU PPh atas jumlah kumulatif penghasilan kena pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan. Besarnya penghasilan kena pajak adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan
b. Bagi yang tidak memiliki NPWP atau memperoleh penghasilan lainnya selain dari hubungan kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 serta memperoleh penghasilan lainnya maka PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat 1 huruf a UU PPh atas jumlah kumulatif 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto dalam tahun kalender yang bersangkutan”.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#32
Pertanyaan :
Bagaimana penanganan pembayaran PPh Pasal 26 yang salah dibayarkan menggunakan kode Objek PPh Pasal 21?
Jawaban :
Penanganan ketika terjadi kesalahan pembayaran pajak dalam hal ini pembayaran PPh Pasal 26 yang salah dibayarkan menggunakan kode Objek PPh Pasal 21 dapat merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 Pasal 16 Ayat 1 yakni “Dalam hal terjadi kesalahan pembayaran atau penyetoran pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Pemindahbukuan kepada Direktur Jenderal Pajak”.
Kesalahan pembayaran atau penyetoran pajak dijelaskan secara rinci pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 Pasal 16 Ayat 2 yakni “Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Pemindahbukuan karena adanya kesalahan dalam pengisian formulir SSP, SSPCP, baik menyangkut Wajib Pajak sendiri maupun Wajib Pajak lain;
b. Pemindahbukuan karena adanya kesalahan dalam pengisian data pembayaran pajak yang dilakukan melalui sistem pembayaran pajak secara elektronik sebagaimana tertera dalam BPN”.
Adapun dokumen yang dibutuhkan untuk melakukan pengajuan pemindahbukuan terdapat pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 Pasal 17 Ayat 8 yakni “Surat permohonan Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan:
a. asli SSP (lembar ke-1), asli SSPCP (lembar ke-1), asli Bukti Pbk (lembar ke-1), dokumen BPN, atau asli bukti pembayaran Pajak Penghasilan Dalam Mata Uang Dollar Amerika Serikat yang dimohonkan untuk dipindahbukukan;
b. asli surat pernyataan kesalahan perekaman dari pimpinan Bank Persepsi/Pos Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Bank Persepsi Mata Uang Asing tempat pembayaran dalam hal permohonan Pemindahbukuan diajukan karena kesalahan perekaman oleh petugas Bank Persepsi/Pos Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Bank Persepsi Mata Uang Asing;
c. asli pemberitahuan pabean impor, asli dokumen cukai, atau asli surat tagihan/surat penetapan dalam hal permohonan Pemindahbukuan diajukan atas SSPCP;
d. fotokopi Kartu Tanda Penduduk penyetor atau pihak penerima Pemindahbukuan, dalam hal permohonan Pemindahbukuan yang diajukan atas SSP, SSPCP, BPN, atau Bukti Pbk yang tidak mencantumkan NPWP atau mencantumkan angka 0 (nol) pada 9 (sembilan) digit pertama NPWP;
e. fotokopi dokumen identitas penyetor atau dokumen identitas wakil badan dalam hal penyetor melakukan kesalahan pengisian NPWP; dan
f. surat pernyataan dari Wajib Pajak yang nama dan NPWP-nya tercantum dalam SSP, yang menyatakan bahwa SSP tersebut sebenarnya bukan pembayaran pajak untuk kepentingannya sendiri dan tidak keberatan dipindahbukukan dalam hal nama dan NPWP pemegang asli SSP (yang mengajukan permohonan Pemindahbukuan) tidak sama dengan nama dan NPWP yang tercantum dalam SSP.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#31
Pertanyaan :
Bagaimana penentuan masa perolehan pada Formulir 1721-A1 untuk Karyawan Unpaid Leave?
Jawaban :
Penanganan ketika terjadi kesalahan pembayaran pajak dalam hal ini pembayaran PPh Pasal 26 yang salah dibayarkan menggunakan kode Objek PPh Pasal 21 dapat merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 Pasal 16 Ayat 1 yakni “Dalam hal terjadi kesalahan pembayaran atau penyetoran pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Pemindahbukuan kepada Direktur Jenderal Pajak”.
Kesalahan pembayaran atau penyetoran pajak dijelaskan secara rinici pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 Pasal 16 Ayat 2 yakni “Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Pemindahbukuan karena adanya kesalahan dalam pengisian formulir SSP, SSPCP, baik menyangkut Wajib Pajak sendiri maupun Wajib Pajak lain;
b. Pemindahbukuan karena adanya kesalahan dalam pengisian data pembayaran pajak yang dilakukan melalui sistem pembayaran pajak secara elektronik sebagaimana tertera dalam BPN”.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#30
Pertanyaan :
Apa implikasi Karyawan yang berubah Jumlah Tanggungan pada saat sudah dimutasi ke kantor pusat / cabang?
Jawaban :
Merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 11 Ayat 5 yakni “Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal Tahun Kalender”. Dengan demikian ketika Karyawan mengalami perubahan Jumlah Tanggungan pada pertengahan tahun berjalan maka perubahan PTKP tersebut berlaku mulai tahun berikutnya.
Sedangkan ketika Karyawan mengalami perubahan Jumlah Tanggungan sejak awal tahun berjalan namun baru diinformasikan kepada Perusahaan pada pertengahan tahun berjalan maka Perusahaan harus melakukan pembetulan / koreksi atas PPh Pasal 21 yang telah dipotong di Masa Pajak sebelum perubahan Jumlah Tanggungan diinformasikan termasuk ketika Karyawan sebelum dimutasi atau masih bekerja di kantor pusat / cabang.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#29
Pertanyaan :
Apa prasyarat Pemotong / Kuasa sebagai penandatangan dalam Formulir 1721-A1 bagian Identitas Pemotong?
Jawaban :
Merujuk pada UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 32 Ayat 1 huruf a yakni
“Dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili dalam hal badan oleh pengurus”.
Namun Pengurus dapat menujuk kuasa untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban dengan syarat yang terdapat pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 Pasal 4 yakni “Seorang kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
b. memiliki surat kuasa khusus dari Wajib Pajak yang memberi kuasa;
c. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
d. telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir, kecuali terhadap seorang kuasa yang Tahun Pajak terakhir belum memiliki kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; dan
e. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.”
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#28
Pertanyaan :
Dapatkah Penghasilan Neto Masa Sebelumnya dan Pajak Masa Sebelumnya diperhitungkan dalam PPh Pasal 21 Karyawan yang baru mulai bekerja pada pertengahan tahun?
Jawaban :
Merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 14 Ayat 4 yakni “Dalam hal kewajiban pajak subjektif Pegawai Tetap terhitung sejak awal tahun kalender dan mulai bekerja setelah Bulan Januari, termasuk pegawai yang sebelumnya bekerja pada pemberi kerja lain, banyaknya bulan yang menjadi faktor pengali sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) atau faktor pembagi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah jumlah bulan tersisa dalam tahun kalender sejak yang bersangkutan mulai bekerja”.
Serta dengan memperhatikan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 bagian contoh penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 Nomor I.1 bahwa dalam melakukan penghitungan PPh Pasal 21 tidak mengikutsertakan Penghasilan Neto Masa Sebelumnya dan Pajak Masa Sebelumnya. Dengan demikian tidak terdapat Peraturan Perpajakan yang menjadi rujukan bahwa Penghasilan Neto Masa Sebelumnya dan Pajak Masa Sebelumnya dapat diperhitungkan dalam PPh Pasal 21 Karyawan yang baru mulai bekerja pada pertengahan tahun.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#27
Pertanyaan :
Apa akibatnya jika tidak membayar PPh Pasal 21 tepat waktu dan tidak melaporkan SPT Tahunan Orang Pribadi?
Jawaban :
Batas pembayaran PPh Pasal 21 merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 242/PMK.03/2014 Pasal 2 Ayat 6 yakni “PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir”. Sanksi jika tidak membayar PPh Pasal 21 tepat waktu dapat merujuk pada UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 7 Ayat 1 yakni “Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan”.
Batas pelaporan SPT Tahunan Orang Pribadi merujuk pada UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 3 Ayat 3 huruf b yakni “Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak”. Sanksi jika terlambat melaporkan SPT Tahunan Orang Pribadi merujuk pada UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 7 Ayat 1 yakni “Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya, dan sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan serta sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi.”
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#26
Pertanyaan :
Bagaimana menghitung PPh Pasal 21 Final atas Uang Pesangon?
Jawaban :
Uang Pesangon menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2010 Pasal 1 Angka 4 adalah “penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak”.
Uang Pesangon dikategorikan sebagai PPh Pasal 21 yang bersifat final dengan merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2010 Pasal 2 Ayat 1 yakni “Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus, dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final.” dengan syarat yang terdapat pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2010 Pasal 2 Ayat 2 yakni “Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender”.
Penghitungan PPh Pasal 21 Final atas Uang Pesangon dapat merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2010 Pasal 3 Ayat 1 yakni “Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon ditentukan sebagai berikut:
a. sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
b. sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
c. sebesar 15% (lima belas persen) atas penghasilan bruto di atas Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
d. sebesar 25% (dua puluh lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#25
Pertanyaan :
Bagaimanakah penghitungan PPh Pasal 21 untuk Bukan Pegawai yang menerima Upah secara Harian dan Mingguan?
Jawaban :
Penghitungan PPh Pasal 21 untuk Bukan Pegawai yang menerima Upah secara harian dan mingguan dapat merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 bagian petunjuk umum penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 Nomor II.1. yakni
“1, Dalam hal upah belum melebihi Rp450.000,- sehari, yang berlaku bagi Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang menerima upah harian sepanjang upah kumulatif yang diterima dalam satu (1) bulan kalender belum melebihi Rp4.500.000,-, maka tidak ada PPh Pasal 21 yang harus dipotong.
2, Dalam hal upah telah melebihi Rp450.000,- sehari, yang berlaku bagi Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang menerima upah harian sepanjang upah kumulatif yang diterima dalam satu (1) bulan kalender belum melebihi Rp4.500.000,-, maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah upah harian setelah dikurangi Rp450.000,-, dikalikan 5%.
3, Dalam hal upah kumulatif yang diterima dalam satu (1) bulan kalender telah melebihi Rp4.500.000,- dan kurang dari Rp10.200.000,-, maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah upah harian setelah dikurangi PTKP sehari, dikalikan 5%.
4, Dalam hal upah kumulatif yang diterima dalam satu (1) bulan kalender telah melebihi Rp10.200.000,-, maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong dengan menerapkan Tarif PPh Pasal 17 ayat 1 huruf a UU PPh atas Jumlah penghasilan Kena Pajak yang disetahunkan.”
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#24
Pertanyaan :
Bagaimana penghitungan PPh Pasal 21 untuk Karyawan yang menerima Penghasilan Rapel?
Jawaban :
PPh Pasal 21 untuk Karyawan yang menerima Penghasilan Rapel dapat merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 bagian petunjuk umum penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 Nomor I.1.a.1. poin 4 yakni
“Jika kepada Pegawai di samping dibayar gaji bulanan juga dibayar kenaikan gaji yang berlaku surut (rapel), misalnya untuk 5 (lima) bulan, maka penghitungan PPh Pasal 21 atas rapel tersebut adalah sebagai berikut:
a. rapel dibagi dengan banyaknya bulan perolehan rapel tersebut (dalam hal ini 5 bulan);
b. hasil pembagian rapel tersebut ditambahkan pada gaji setiap bulan sebelum ada kenaikan gaji, yang sudah dikenakan pemotongan PPh Pasal 21;
c. PPh Pasal 21 atas gaji untuk bulan-bulan setelah kenaikan, dihitung kembali atas dasar gaji baru setelah ada kenaikan;
d. PPh Pasal 21 terutang atas tambahan gaji untuk bulan-bulan dimaksud adalah selisih antar jumlah pajak yang dihitung dengan cara sebagaimana dimaksud pada huruf c dikurangi jumlah pajak yang telah dipotong sebagaimana dimaksud pada huruf b”.
Dan untuk contoh penghitungannya dapat merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 bagian contoh penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 Nomor 1.3.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#23
Pertanyaan :
Bagaimana penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun yang dibayarkan secara bulanan?
Jawaban :
Penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun yang dibayarkan secara bulanan dapat merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 10 Ayat 2 yakni “Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat 1 huruf a adalah bagi Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun Berkala, sebesar Penghasilan Neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)”.
Yang dimaksud Penghasilan Neto untuk Penerima Pensiun Berkala dapat merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 10 Ayat 4 yakni “Besarnya Penghasilan Neto bagi Penerima Pensiun Berkala yang dipotong PPh Pasal 21 adalah seluruh jumlah Penghasilan Bruto dikurangi dengan Biaya Pensiun, sebesar 5% (lima persen) dari Penghasilan Bruto, setinggi-tingginya Rp200,00,- (dua ratus ribu rupiah) sebulan atau Rp2,400,000,- (dua juta empat ratus ribu rupiah) setahun.
Dan untuk petunjuk penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun yang dibayarkan secara bulanan terdapat pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 bagian petunjuk umum penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 Nomor I.1.a.2.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#22
Pertanyaan :
Konsekuensi apa yang dapat terjadi apabila Jumlah Tanggungan Karyawan berubah pada pertengahan Tahun Pajak?
Jawaban :
Merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 11 Ayat 5 yakni “Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal Tahun Kalender”. Dengan demikian ketika Karyawan mengalami perubahan Jumlah Tanggungan pada pertengahan tahun berjalan maka perubahan tersebut mengubah besarnya PTKP pada tahun depan.
Sedangkan ketika Karyawan mengalami perubahan Jumlah Tanggungan sejak awal tahun berjalan namun baru diinformasikan kepada Perusahaan pada pertengahan tahun berjalan maka Perusahaan harus melakukan pembetulan / koreksi atas PPh Pasal 21 yang telah dipotong di Masa Pajak sebelum perubahan Jumlah Tanggungan diinformasikan.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#21
Pertanyaan :
Adakah korelasi Karyawan Unpaid Leave dengan Penghitungan PPh Pasal 21?
Jawaban :
Metode Penghitungan PPh Pasal 21 untuk Karyawan Unpaid Leave sama dengan Karyawan lainnya karena merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 21 Ayat 1 yakni “PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terutang bagi Penerima Penghasilan pada saat dilakukan pembayaran atau pada saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan”.
Namun karena Karyawan Unpaid Leave mengalami penurunan penghasilan atau tidak mendapatkan penghasilan di bulan tersebut, maka PPh Pasal 21 akan mengalami penurunan juga atau tidak terdapat PPh Pasal 21 yang harus dipotong.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#20
Pertanyaan :
Kelengkapan dokumen apakah yang diperlukan agar Ekspatriat dapat dijadikan sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri?
Jawaban :
Merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2011 Pasal 3 Ayat 1 huruf a yakni ” Subjek Pajak Dalam Negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau dalam suatu Tahun Pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia”.
Yang dimaksud “mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia” dijelaskan pada Pasal 11 huruf a yakni ” Subjek pajak Orang Pribadi menunjukan niat secara tegas untuk bertempat tinggal di Indonesia, yang dapat dibuktikan dengan dokumen berupa Visa bekerja atau Kartu Izin Tinggal Terbatas, lebih dari 183 hari atau kontrak / perjanjian untuk melakukan pekerjaan, usaha, atau kegiatan yang dilakukan di Indonesia selama lebih dari 183 hari”
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#19
Pertanyaan :
Mungkinkah Wajib Pajak Orang Pribadi memiliki lebih dari dua belas (12) masa perolehan dalam satu (1) Tahun Pajak?
Jawaban :
Merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 21 Ayat 1 yakni “PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terutang bagi Penerima Penghasilan pada saat dilakukan pembayaran atau pada saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan”.
Dengan demikian memungkinkan Wajib Pajak Orang Pribadi memiliki lebih dari dua belas (12) masa perolehan dalam satu (1) Tahun Pajak. Contohnya adalah ketika Karyawan yang telah bekerja di Perusahaan A sejak tahun lalu dan berhenti bekerja pada Tanggal 10 Agustus tahun berjalan maka masa perolehan penghasilan Karyawan tersebut di Perusahaan A adalah 01 – 08. Selanjutnya Karyawan tersebut bekerja kembali di Perusahaan B mulai Tanggal 13 Agustus tahun berjalan dan memperoleh penghasilan di Bulan Agustus tahun berjalan maka masa perolehan penghasilan Karyawan tersebut dengan asumsi tidak berhenti bekerja pada tahun berjalan di Perusahaan B adalah 08 – 12. Sehingga jika diakumulasi masa perolehan penghasilan Karyawan adalah tiga belas (13).
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#18
Pertanyaan :
Apa saja kriteria Utang / Kewajiban di dalam Formulir Lapor Pajak Tahunan Orang Pribadi?
Jawaban :
Utang / Kewajiban di dalam Formulir Lapor Pajak Tahunan Orang Pribadi dapat merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 36 Tahun 2015 Lampiran IV yakni “jumlah utang yang dimiliki pada akhir Tahun Pajak” dengan jenis utangnya adalah berupa “Utang Bank / Lembaga Keuangan Bukan Bank, Kartu Kredit, Utang Afiliasi (Pinjaman dari pihak yang memiliki hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh) dan Utang Lainnya”
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#17
Pertanyaan :
Bagaimana penentuan masa perolehan Karyawan Baru? Apakah berdasarkan tanggal mulai bekerja atau periode menerima gaji?
Jawaban :
Merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 21 Ayat 1 yakni “PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terutang bagi Penerima Penghasilan pada saat dilakukan pembayaran atau pada saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan”.
Dengan demikian Karyawan yang mulai bekerja pada bulan berjalan dan baru memperoleh penghasilan di bulan depan, maka masa perolehan Karyawan tersebut dimulai di bulan depan. Sedangkan apabila Karyawan yang mulai bekerja pada bulan berjalan dan baru memperoleh penghasilan di bulan depan namun dibiayakan atau dibukukan dalam bulan berjalan, maka maka masa perolehan Karyawan tersebut dimulai di bulan berjalan.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#16
Pertanyaan :
Selain sanksi pajak 20% lebih tinggi, adakah sanksi lain bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak memiliki NPWP?
Jawaban :
Merujuk pada UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 39 Ayat 1 huruf a yakni “Setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.”
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#15
Pertanyaan :
Apakah Ekspatriat yang penghasilannya dipotong PPh Pasal 26 memiliki kewajiban untuk melaporkan SPT Tahunan Orang Pribadi?
Jawaban :
Merujuk pada UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 3 Ayat 1 yakni “Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak”. Dapat disimpulkan bahwa hanya Wajib Pajak yang terdaftar saja yang wajib melaporkan SPT Tahunan Orang Pribadi.
Dalam hal Ekspatriat yang penghasilannya dipotong PPh Pasal 26 adalah bukan Wajib Pajak yang terdaftar karena tidak memiliki NPWP. Hal ini merujuk pada UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 2 Ayat 1 yakni “Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak”. Yang dimaksud syarat subjektif adalah ketika Wajib Pajak dikategorikan Subjek Pajak Dalam Negeri. Sedangkan syarat objektif adalah ketika Wajib Pajak memperoleh penghasilan yang dikategorikan sebagai Objek Pajak.
Dengan demikian Ekspatriat yang penghasilannya dipotong PPh Pasal 26 tidak memiliki kewajiban untuk melaporkan SPT Tahunan Orang Pribadi
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#14
Pertanyaan :
Apa saja kriteria Harta yang wajib dicantumkan dalam Formulir Lapor Pajak Tahunan Orang Pribadi?
Jawaban :
Kriteria Harta yang wajib dicantumkan dalam Formulir Lapor Pajak Tahunan Orang Pribadi dapat merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 36 Tahun 2015 Lampiran IV yakni “jumlah harta pada akhir Tahun Pajak” dengan jenis hartanya adalah berupa “Kas dan Setara Kas, Piutang, Investasi, Harta Bergerak dan Harta Tidak Bergerak”
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#13
Pertanyaan :
Ekspatriat hanya bekerja selama 4 bulan dari kontrak kerja 1 tahun. Apakah penghitungan PPh Pasal 21 sebelumnya perlu dihitungkan ulang dengan PPh Pasal 26?
Jawaban :
Merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2011 Pasal 3 Ayat 1 huruf a yakni ” Subjek Pajak Dalam Negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau dalam suatu Tahun Pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia”.
Yang dimaksud “mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia” dijelaskan pada Pasal 11 huruf a yakni ” Subjek pajak Orang Pribadi menunjukan niat secara tegas untuk bertempat tinggal di Indonesia, yang dapat dibuktikan dengan dokumen berupa Visa bekerja atau Kartu Izin Tinggal Terbatas, lebih dari 183 hari atau kontrak / perjanjian untuk melakukan pekerjaan, usaha, atau kegiatan yang dilakukan di Indonesia selama lebih dari 183 hari”
Dengan demikian penetuan Ekspatriat menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri atau Subjek Pajak Luar Negeri adalah berdasarkan kondisi awal Ekspatriat tersebut berada di Indonesia. Sehingga ketika Ekspatriat tersebut berhenti bekerja pada bulan ke-4 berada di Indonesia tidak perlu melakukan dihitungkan ulang dengan PPh Pasal 26.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#12
Pertanyaan :
Bagaimana menghitung PPh Pasal 21 Untuk Ekspatriat yang Terminasi dan meninggalkan Indonesia selama-lamanya?
Jawaban :
Ketika Ekspatriat yang bekerja di Indonesia terminasi dan meninggalkan Indonesia selama-lamanya di pertengahan tahun pajak, maka artinya Ekspatriat tersebut hanya memiliki kewajiban pajak subjektif meliputi bagian tahun pajak. Penghitungannya dapat merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 14 ayat 6 yakni “Dalam hal kewajiban pajak subjektif Pegawai Tetap hanya meliputi bagian Tahun Pajak maka penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bagian Tahun Pajak tersebut dihitung berdasarkan Penghasilan Kena Pajak yang disetahunkan, sebanding dengan jumlah bulan dalam bagian Tahun Pajak yang bersangkutan” dengan memperhatikan Pasal 14 ayat 5 yakni “Besarnya PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk Masa Pajak terakhir adalah selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan kena pajak selama 1 (satu) tahun pajak atau bagian tahun pajak dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada masa-masa sebelumnya dalam tahun pajak yang bersangkutan”.
Sedangkan Ketika Ekspatriat yang bekerja di Indonesia terminasi dan meninggalkan Indonesia selama-lamanya di akhir tahun pajak, maka artinya Ekspatriat tersebut memiliki kewajiban pajak subjektif yang penuh dalam tahun pajak. Dengan demikian penghitungannya tidak menerapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 14 ayat 6.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#11
Pertanyaan :
Bagaimana menghitung PPh Pasal 21 atas penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai Pegawai?
Jawaban :
Penghitungan PPh Pasal 21 atas penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai Pegawai dan belum memasuki usia pensiun dapat merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 16 Ayat 1 huruf e yakni “Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas jumlah kumulatif dari jumlah penghasilan bruto berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan”.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#10
Pertanyaan :
Bagaimana cara menghitung PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima Komisaris yang tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap?
Jawaban :
Penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima Komisaris yang tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap dapat merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 16 Ayat 1 huruf c yakni “Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas jumlah kumulatif dari jumlah penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama”
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#9
Pertanyaan :
Bagaimana penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh Peserta Kegiatan?
Jawaban :
Merujuk pada pengertian dari Peserta Kegiatan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 adalah “orang pribadi yang terlibat dalam suatu kegiatan tertentu, termasuk mengikuti rapat, sidang, seminar, lokakarya (workshop), pendidikan, pertunjukan, olahraga, atau kegiatan lainnya dan menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam kegiatan tersebut.”
Dan untuk penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh Peserta Kegiatan dijelaskan pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 16 Ayat 2 yaitu “Tarif berdasarkan Pasal 17 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas jumlah penghasilan bruto untuk setiap kali pembayaran yang bersifat utuh dan tidak dipecah, yang diterima oleh peserta kegiatan.”
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#8
Pertanyaan :
Apa perbedaan penghitungan Pajak Tahunan Orang Pribadi untuk Suami Istri dengan satu (1) NPWP dan Suami Istri dengan NPWP masing-masing?
Jawaban :
Merujuk pada UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 8 Ayat 1 yakni “Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya”. Dengan demikian ketika Suami dan Istri memiliki satu (1) NPWP maka pajak atas penghasilan istri bersifat final
Sedangkan ketika Suami Istri memiliki NPWP masing-masing maka Penghasilan Suami Istri dikenai pajak secara terpisah seperti yang terdapat pada UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 8 Ayat 2 yakni
“(2) Penghasilan suami-isteri dikenai pajak secara terpisah apabila:
a. suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim;
b. dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan;
c. dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri.
(3) Penghasilan neto suami-isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dikenai pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami-isteri dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka.”
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#7
Pertanyaan :
Bagaimana pemberlakuan pajak penghasilan yang diterima pekerja dengan usia di bawah 18 Tahun?
Jawaban :
Merujuk pada UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 8 Ayat 4 yakni “Penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan penghasilan orang tuanya” yang diperjelas pada bagian penjelasan UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan yakni “Yang dimaksud dengan “anak yang belum dewasa” adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah”
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#6
Pertanyaan :
Apakah Penghasilan Neto Ekspatriat yang mulai bekerja pada pertengahan tahun selalu disetahunkan?
Jawaban :
Untuk menentukan Penghasilan Neto Wajib Pajak Dalam Negeri disetahunkan atau tidak disetahunkan diperlukan informasi Wajib Pajak Dalam Negeri tersebut telah memiliki kewajiban pajak subjektif terhitung sejak awal Tahun Pajak atau pada pertengahan Tahun Pajak.
Hal ini juga yang dilakukan kepada Ekspatriat yang bekerja di Indonesia. Ketika Ekspatriat telah memperoleh kewajiban pajak subjektif sejak awal Tahun Pajak maka Penghasilan Netonya tidak disetahunkan seperti yang terdapat pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 14 Ayat 4 yakni “Dalam hal kewajiban pajak subjektif Pegawai Tetap terhitung sejak awal tahun kalender dan mulai bekerja setelah Bulan Januari, termasuk pegawai yang sebelumnya bekerja pada pemberi kerja lain, banyaknya bulan yang menjadi faktor pengali sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) atau faktor pembagi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah jumlah bulan tersisa dalam tahun kalender sejak yang bersangkutan mulai bekerja”.
Sedangkan ketika Ekspatriat memperoleh kewajiban pajak subjektif pada pertengahan Tahun Pajak maka Penghasilan Netonya disetahunkan seperti yang terdapat pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 14 Ayat 6 yakni “Dalam hal kewajiban pajak subjektif Pegawai Tetap hanya meliputi bagian Tahun Pajak maka penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bagian Tahun Pajak tersebut dihitung berdasarkan Penghasilan Kena Pajak yang disetahunkan, sebanding dengan jumlah bulan dalam bagian Tahun Pajak yang bersangkutan”.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#5
Pertanyaan :
Bagaimana penghitungan PPh Pasal 21 untuk Karyawan yang baru memiliki NPWP pada pertengahan Tahun Pajak?
Jawaban :
Penghitungan PPh Pasal 21 untuk Karyawan yang baru memiliki NPWP pada pertengahan Tahun Pajak dapat merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 20 Ayat 4 yakni “Dalam hal Pegawai Tetap atau penerima pensiun berkala sebagai penerima penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dalam Tahun Kalender yang bersangkutan paling lama sebelum pemotongan PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Desember, PPh Pasal 21 yang telah dipotong atas selisih pengenaan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) lebih tinggi tersebut diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak”.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#4
Pertanyaan :
Apa pengaruh Iuran Zakat terhadap penghitungan PPh Pasal 21 dan PPh Orang Pribadi?
Jawaban :
Merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 254/PMK.03/2010 Pasal 2 Ayat 1 yaitu “Zakat atau sumbangan keagamaan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dan/atau oleh Wajib Pajak Badan Dalam Negeri, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto yang bersangkutan”.
Namun Zakat hanya dapat menjadi pengurang Penghasilan Bruto dalam penghitungan PPh Orang Pribadi seperti yang terdapat pada Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 254/PMK.03/2010 Pasal 3 Ayat 1 huruf a yaitu “Pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi dan/atau oleh Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang bersangkutan, untuk pembayaran zakat atau sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat 1”.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#3
Pertanyaan :
Bagaimana penghitungan PPh Pasal 21 untuk Karyawan yang didasarkan atas gaji harian dan mingguan?
Jawaban :
PPh Pasal 21 untuk Karyawan yang didasarkan atas gaji harian dan mingguan dapat merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 bagian petunjuk umum penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 Nomor I.1.a.1. poin 3 yakni “Apabila pajak yang terutang oleh pemberi kerja tidak didasarkan atas masa gaji sebulan, maka untuk penghitungan PPh Pasal 21, jumlah penghasilan tersebut terlebih dahulu dijadikan penghasilan bulanan dengan mempergunakan faktor perkalian sebagai berikut:
1. Gaji untuk masa seminggu dikalikan dengan 4
2. Gaji untuk masa sehari dikalikan dengan 26”.
Dan untuk contoh penghitungannya dapat merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 bagian contoh penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 Nomor 1.2.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#2
Pertanyaan :
Apakah Premi Asuransi dari Pemberi Kerja yang dibayarkan sekali dalam setahun dikategorikan sebagai Penghasilan Teratur?
Jawaban :
Merujuk pada pengertian dari Penghasilan Teratur dan Tidak Teratur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 bahwa Penghasilan Teratur adalah penghasilan bagi Pegawai Tetap berupa gaji atau upah, segala macam tunjangan, dan imbalan dengan nama apapun yang diberikan secara periodik berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh pemberi kerja, termasuk uang lembur.
Sedangkan Penghasilan Tidak Teratur adalah penghasilan bagi Pegawai Tetap selain dari penghasilan yang bersifat teratur, yang diterima sekali dalam satu tahun atau periode lainnya, antara lain berupa bonus, Tunjangan Hari Raya (THR), jasa produksi, tantiem, gratifikasi, atau imbalan sejenis lainnya dengan nama apapun.
Dengan demikian Premi Asuransi yang dibayarkan sekali dalam setahun termasuk dalam kategori Penghasilan Tidak Teratur meskipun Premi Asuransi tidak disebutkan dalam pengertian Penghasilan Tidak Teratur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016. Yang perlu dipahami adalah semakin banyaknya Penghasilan Tidak Teratur yang diterima Karyawan di Tahun tersebut akan memperbesar kemungkinan Fluktuasi Pajak di akhir Tahun Pajak.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
#1
Pertanyaan :
Bagaimana menghitung PPh Pasal 21 jika Penghasilan Karyawan terkait Mata Uang Asing?
Jawaban :
Penghitungan PPh Pasal 21 terkait Mata Uang Asing diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 Pasal 7 Ayat 1 “Dalam hal penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat 1 diterima atau diperoleh dalam Mata Uang Asing, penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 didasarkan pada Nilai Tukar (Kurs) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembayaran penghasilan atau pada saat dibebankan sebagai biaya”.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di +62 21 750 2345.
[/accordion-item]
[accordion-item title=”Payroll Related FAQ”]
ABOUT PAYROLL
[/accordion-item]
[/accordion]